Tuesday, January 29, 2013

BUKAN HANYA PENDIDIKAN BERKARAKTER


Bukan Hanya Pendidikan Berkarakter
Oleh : *Tubagus Hidayat,M.Hum
Di Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Jika melihat isi dari UU tersebut pendidikan karakter yang tengah menjadi pembicaraan hangat di dunia pendidikan kita sebetulnya sudah tersurat, Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari. Melalui program ini diharapkan setiap lulusan memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Karakter yang dimaksud terdiri diantaranya adalah; religius. jujur,toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,  mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,  peduli sosial, tanggung jawab.
Dari berbagai sumber yang ada yang menjadi dasar pendidikan karakter ini adalah kondisi sosial masyarakat saat ini, berbagai persoalan sosial yang terjadi sekarang adalah akibat lemahnya sikap toleransi antar sesama masyarakat, menurunnya wibawa pemerintah karena berbagai kebijakannya yang dianggap tidak pro rakyat, melemahnya peranan norma dalam mengatur ketertiban masyarakat hingga ketidak percayaan terhadap hukum. Semuanya itu memunculkan berbagai perilaku perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai tingkah laku lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama.
            Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter seseorang dapat mempengaruhi kesuksesan seseorang. Di antaranya berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Sementara itu Ratna Megawangi (2007) dalam bukunya “Semua Berakar Pada Karakter” mencontohkan bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good (suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga berakhlak mulia).
Dalam beberapa kasus di beberapa negara . Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Sejalan dengan hal tersebut, ketiga aspek ini pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Sebuah buku berjudul Emotional Intelligence and School Success karangan Joseph Zins (2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dalam buku itu dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Pada beberapa penelitian menunjukan keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya. Selain itu, banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya. Entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Apabila seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Berdasarkan hal tersebut terbukti bahwa pentingnya pendidikan karakter, baik di rumah ataupun di pendidikan formal.
            Jadi, sangat jelas dan beralasan pendidikan berkarakter memang sangat diperlukan, tinggal berbagi peran karena ternyata bukan hanya  tugas guru, sekolah atau pemerintah saja tetapi orangtua dan masyarakatpun harus ikut berperan dalam implementasi pendidikan berkarakter ini. Guru memiliki peran sentral dalam proses pendidikan karakter. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru tidak hanya menjadi pahlawan tanpa tanda jasa, Guru juga harus mendapatkan tanda jasa, penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya, sehingga setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik. Rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya.  Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan
Mencermati pendidikan berkarakter, jadi teringat perubahan-perubahan kurikulum pendidikan kita dari CBSA (cara belajar siswa aktif) , KBK (kurikulum berbasis kompetensi), KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) , lalu perubahan-perubahan konsep dan teknis kurikulum. Salahkah? Tentu saja tidak karena begitulah pendidikan, lebih banyak preskriptif.
Apapun itu tentang pendidikan berkarakter sudah sepatutnya memperhatikan beberapa catatan diantaranya sosialisasi yang sinergis dan lebih efektif untuk insan pendidikan serta bagaimana strategi implementasi di tataran teknis agar program ini bisa cepat dirasakan oleh masyarakat terutama peserta didik sebagai output pendidikan. Meskipun pendidikan kadang  preskriptif dan banyak faktor untuk mencapai keberhasilannya sudah menjadi tuntutan bersama untuk  mengoptimalkan  implementasi pendidikan berkarakter agar mencapai tujuan yang diinginkan.
Dunia pendidikan indonesia  juga tidak boleh melupakan atau pura-pura lupa bahwa fasilitas pendidikan sekolah-sekolah  kita masih belum merata , sekolah-sekolah masih banyak yang rusak dan kurang mendapat perhatian, biaya pendidikan  yang mahal, kesejahteraan tenaga pendidik, sertifikasi guru dan pemerataan guru, persoalan tenaga pendidik dan guru honorer, pelaksanaan ujian nasional dan beragam persoalan-persoalan dunia pendidikan yang sudah seharusnya mendapat perhatian dan penanganan nyata dengan segera.   (dari berbagai sumber)
                                                           
*Tubagus Hidayat
Guru di SMKN 2



No comments:

Post a Comment