Tuesday, January 29, 2013

ETIKA SUNDA


ETIKA SUNDA


(SUATU KERANGKA KAJIAN AWAL DALAM  MENELUSURI KARAKTER FITRIAH MANUSIA SUNDA SEBAGAI UPAYA KONTRIBUSI BAGI
“NGERTAKEUN BUMI LAMBA” /RAKHMATAN LIL ALAMIN)

 
OLEH : HIDAYAT SURYALAGA
LEMBAGA KEBUDAYAAN UNPAS.

     Tulisan ini hanyalah langkah awal, suatu kerangka bangunan imajiner yang sangat memerlukan bantuan serta dorongan dan urun rembug dari setiap disiplin ilmu dan sudut pandang pemikiran para awak-awak Ki Sunda dalam menata Punden Etika Ki Sunda” (Punden = bangunan/tempat atau sesuatu yang disakralkan). Sesuatu yang disakralkan tentu harus berlandaskan yang religius, yang Ilahiah.

LANDASAN  FALSAFI RELIGI:

Seyogyanyalah segala yang akan kita bangun dan kerjakan  berlandaskan falsafah yang religius dan Ilahiah, yaitu:

-          Setiap manusia diciptakan Alloh SWT mempunyai tugas masing-masing. (Q.S ...........) ini bisa diartikan bahwa setiap pribadi insan mempunyai sesuatu yang harus dikerjakannya baik bagi dirinya/individu  maupun bagi orang lain/masyarakat/sosial
-          Alloh SWT juga menciptakan kabilah/kaom/ etnisk bangsa. Ini bisa diartikan bahwa penanda setiap Etnik adalah kebudayaan dan peradabannya. Tidak seragam, dalam ketidak-seragaman-lah di antaranya terlihat ke-Akbaran Allah SWT. (Q.S 49:13)
-          Manusia sebagai khalifatullah fil ardi yang diberi amanah untuk berperan menjadi (Q.S.27:62)
-          Rakhmatan lil Alamin. Ini dapat ditafsirkan bahwa manusia yang ditugasi untuk menjadi pemimpin, harus mempunyai “kepemimpinan/leadership” yang mampu mewujudkan kesejahteraan umat dan alam.

Dari landasan falsafi religi di atas  bisa menentukan langkah selanjutnya untuk dijadikan pola bertindak, bahwa:
1.      Manusia    perlu    tahu    apa  tugas  dirinya  pribadi.     Kuatnya   ketekadan  batin seseorang - - ceteris peribus- yang mendasari seluruh tekad dan perilaku seseorang sangatlah penting. ( Misalnya pada langkah awal,memberi tugas kepada  diri sendiri, ini berkaitan dengan seberapa mampu seseorang memenej kualitas egonya sendiri).
2.      Kualitas ego setiap individu bila secara merata telah dipunyai oleh insan-insan yang berada di satu lingkungan  akan mewujudkan karakter lingkungannya dan pada gilirannya akan mewujudkan karakter peradaban etnisnya.
3.      Karakter individu/etnis inilah yang akan mewarnai cara seorang khalifah / pemimpin dalam menjalankan ETIKA kepemimpinannya.




Pertanyaan yang timbul adalah:

      Adakah karakter Etika yang khas melekat pada KI SUNDA? Bila ada bagaimana sebaiknya karakter  Etika KI SUNDA tsb dimanfaatkan secara optimal dalam menyiasati masalah hidupnya sendiri serta hidup bermasyarakat baik lokal, nasional maupun mondial/internasional.
      Faktor penegas bahwa pertanyaan itu pantas untuk dicarikan jawabnya, sebab  realitanya  Masyarakat Sunda secara historis telah ada sejak tahun 132 M (Kerajaan Salaka Nagara di daerah Pandeglang/Banten), dan pada saat sekarang penduduk Jawa Barat (tentu sebagian besar  etnis Sunda) telah berjumlah lebih dari 36 juta jiwa, jumlah terbesar kedua di Indonesia. Maka bisa diasumsikan bahwa tentu  ada penanda yang signifikan “karakter Ki Sunda” dalam ETIKA HIDUPNYA, lebih khusus lagi ETIKA KEPEMIMPINANNYA. Obsesi inilah yang mendorong penulis berusaha untuk menelusuri dan mengkajinya; tentu saja hanya baru sebatas  serpihan yang dalam idiomatika Sunda disebut dengan sesemplekan talawengkar, yang bila di tata kembali tidak mustahil akan menemukan bentuk/format yang utuh.
      Langkah yang saya tempuh untuk mencari jawab atas pertanyaan di atas saya coba dengan merunut pola deduktif atau lebih pasnya lagi dari penelusuran yang bersifat makro ke arah mikro, dari yang “luar/eksternal” ke arah yang “dalam/internal” yang akan berakhir pada APA YANG HARUS DILAKUKAN SETIAP INDIVIDU KI SUNDA DALAM MEMENEJ DIRINYA agar menjadi Khalifah yang Rakhmatan lil alamin.
      Buku ETIKA JAWA karya Fran\z Magnis Suseno (FMS), saya gunakan sebagai bahan awal bagi bahan banding/analogi. Buku ini saya jadikan acu- banding selain karena satu-satunya buku yang berorientasi  kepada etika suatu etnik (Jawa) juga ditulis oleh non etnik Jawa dilengkapi kajian ilmiah yang mendalam a.l  dari Clifford Geertz dan Hildred Geertz, Anderson dll. (Buku  sejenis ini  tentang Sunda belum ada yang lengkap).
      Sebagai terminal awal kajian kali ini, saya akan menggunakan pengertian-pengertian yang digunakan oleh Franz Magnis Suseno, ini memudahkan dalam menstrukturkan / mengkonstruksikan  cara berpikir yang runut. Meskipun ada bahaya kebablasan karena lebih cenderung pada konstruksi teoritis yang memungkinkan  terabaikannya  kajian empiris faktual, meskipun keberangkatan  awal FMS berasal dari kajian data faktual.
Saya mulai dengan istilah-istilah kunci:

APA/SIAPA YANG DISEBUT KI SUNDA
Penyebutan orang Sunda dengan kata sandang KI, tidak diartikan sebagai penanda gender maskulin (seperti nama Ki (Kai) Enjum, Ki (Kai) Udin) tetapi lebih cenderung kepada penanda / penegas, searti dengan kata THE  dalam bahasa Inggris.
Dengan demikian KI SUNDA, tidak saya definisikan sebagai suatu yang “tetap” terukur secara lahiriah, tetapi dimaknai lebih abstrak, sesuatu  yang  fitriah  primordial/ sunatullah.  Sebab KI SUNDA  pun  dalam  keberadaannya  akan tetap bergulir menapaki rentang waktu dan ruang, ada  KI SUNDA BIHARI, KAMARI, KIWARI dan BARING SUPAGI (yad) .

Bila  SUNDA   merupakan   kata benda,   maka   kata kerja/perilakunya disebut NYUNDA ;  kata  sifat- nya   adalah   KASUNDAAN    dan   waktu & ruang    gerak   keberadaannya   disebut
PA - SUNDA –AN -> PASUNDAN.


Ada penjelasan yang lebih gamblang tentang apa ciri dari yang disebut Orang Sunda (Ki Sunda), seperti yang ditulis SAINI KM (dalam : Dangiang  edisi I/1999): .... harus lebih dari hubungan intelektual, melainkan juga emosional dan bahkan intuituf yang sudah menjadi bagian kepribadiannya dan dengan demikian menentukan caranya berpikir dan bertindak. Tidak hanya memahami dan memiliki pengetahuan tentang kasundaan, tetapi menghayatinya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari secara tidak sadar

APA ETIKA.
Secara lengkap saya nukil dari tulisan Franz Magnis Suseno, bahwa: Kata “etika” dalam arti sebenarnya mengenai bidang moral” jadi etika merupakan bidang atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah moral. Lebih luas lagi “Keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalankan/i kehidupannya; jadi di mana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, bersikap, bertindak agar hidup saya “berhasil”
Jadi pada hakekatnya ETIKA adalah seni  hidup manusia dalam menapaki kehidupannya untuk mencapai eudaemonia (kebahagiaan), bagi KITA tentu yang harus “berhasil” adalah kebahagian dunia wal akhirah.
 
MENGKAJI ETIKA SUNDA UNTUK APA?
Bila pengertian Etika diartikan seperti itu, maka tak pelak lagi kajian kita ini untuk menjawab sederet tanya di atas, dan akan bermuara pada pembuktian landasan falsafi religi (Islam) sebagai awal dan akhir kehidupan  dari makhluk yang ditugasi untuk menjadi Rakhmatan lil alamin.
Makin terasa lebih konperhensif dan aktual lagi, karena kita sependapat, KI SUNDA masa kini hidup di tengah Rakyat Indonesia yang tengah haru biru, terpuuk hampir ambruk karena keroposnya ETIKA / MORAL sejak  dari ulu sampai ke ilir; dari lapis elita sampai lapis jelata.
Ke arah berupaya mengatasi masalah inilah tulisan ini dibuat, sebagai suatu tarekah mengkontribusikan keberadaan KI SUNDA bagi peradaban bangsa baik lokal, nasional maupun mondial melalui kualitas etika/moral.
Tentu saja perlu selalu diingat bahwa apapun perbaikan yang akan kita rancang harus dimulai dari  DIRI SENDIRI  -IBDA BIN NAFSI –  AWIT TI JATI DIRI dengan langkah awal  Gnothi se auton ( Socrates; kenalilah dirimu sendiri) .

ETIKA SUNDA  ADALAH  ..............?
Sungguh  saya terobsessi dengan ungkapan FMS, bahwa tuntutan utama dalam ETIKA JAWA adalah ETIKA  KEBIJAKSANAAN, adapun “ETIKA BARAT”condong kepada ETIKA KEWAJIBAN (Etika Jawa : 225),  walaupun  kedua  jenis etika tersebut relativ sering berbaur.
Lalu untuk Ki Sunda? Apakah condong kepada ETIKA KEBIJAKSANAAN atau KEWAJIBAN, atau kedua-duanya, atau adakah penanda lain yang lebih signifikan lagi.
Penelusuran untuk mencari jawab atas  “kapanasaran” ini, jelas tidak bisa ASAL main tebak, harus lebih mendalam dan mendasar. Sebagai langkah awal, saya pernah mencoba mengumpulkan pendapat orang tentang  yang diangankan mengenai seorang karakter/Etika pemimpin Sunda atau yang Nyunda.
[ Pada kesempatan pertemuan kali itu pun saya coba ulangi menyampaikan isian kuesioner pada yang hadir. Dua nomor kuesioner yang saya sampaikan sebagai berikut:
I.                   SEBUTKAN/TULISKAN  5 ORANG  YANG ANDA ANGGAP SEBAGAI TOKOH IDOLA ORANG SUNDA; BOLEH SIAPA SAJA SEJAK JAMAN BAHEULA SAMPAI SAAT INI, LAKI-LAKI ATAU PUN PEREMPUAN
II.                MENURUT ANDA MENGAPA KELIMA ORANG TERSEBUT DIANGGAP SEBAGAI TOKOH/IDOLA .


CATATAN
Ketika pertemuan di mulai, saya bagikan lembaran kertas dengan pertanyaan seperti di atas. Yang ikut mengisi ada 9 orang, terdiri dari seorang doktor pria ,  2 orang dosen senior pria, 2 orang dosen senior wanita dan 4 mahasiswa/pria  tingkat ahir dari beberapa fakultas yang ada di Unpas, ditambah selembar jawaban angket dari mahasiswa Fakultas Adab IAIN.
Di hadapan yang hadir, saya bacakan satu-persatu jawaban kuesioner sederhana tsb. beserta alasannya, tercatat seperti berikut:

Penjawab I:
1.                  OTO ISKANDARDINATA
2.                  K.H.HASAN MUSTAPA
3.                  KIAN SANTANG
Alasannya: - Memberi citra dan jatidiri Ki Sunda.
                     - Membawa nilai-nilai manusia yang universal.

Penjawab II:
1.       RD.DEWI SARTIKA
Alasannya: - Karena beliau sebagai pelopor pendidikan di Tatar Sunda.

Penjawab III:
1.   OTO ISKANDARDINATA
Alasannya : Peran sosial politik dalam konteks Nasional, ketika menjadi Ketua
                      Umum Paguyuban Pasundan cukup bermakna. Hal tersebut
                       merupakan kontribusi Ki Sunda untuk Negara tercinta Indonesia
                      termasuk Tatar Sunda.

Penjawab IV.
1. DAENG SUTIGNA
Alasannya :  Karena dengan jasa beliau khususnya di budaya Sunda; sampai
                       sekarang musik digunakan dan dikenang oleh masyarakat Sunda.

Penjawab V.
1.                  PRABU SILIWANGI
2.                   MARHAEN (TOKOH FIKTIF)
 Alasannya : Untuk no 1 : Kepemimpinan Egaliter
                       Untuk no 2 : Kesederhanaanya.

Penjawab VI:
1.                  PRABU SILIWANGI
2.                  DEWI SARTIKA
3.                  ALI SADIKIN\
4.                  HR.DHARSONO
            Alasannya : Untuk no 1: Prabu Siliwangi karena kepemimpinannya yang adil dan
                      rakyatnya (pada jamannya) dikenal sebagai rakyat yang makmur.
                      Untuk no 2 : Dewi sartika, karena perhatiannya pada rakyat kecil. dia
                       berikan sesuatu yang berharga bagi seorang anak; pendidikan.
                      Untuk no 3 : Bang Ali dikenal sebagai pemimpin yang konsisten, teguh
                      dalam pendirian dan memperhatikan segala aspek kehidupan
                      masyarakat  tidak hanya politik, ekonomi.
                      Untuk no 4 : H.R.Dharsono dijadikan idola karena kedekatannya
                      kepada rakyat. Bahkan dia menyamar untuk bisa menyampaikan
                      kebenaran.
           
            Penjawab VII :
1.                  TIDAK  ADA
             Alasannya  :  -

Penjawab VIII :
1.                  UU RUKMANA:
 Alasannya : (Hanya ada catatan: Krisis kepemimpinan secara Nasional, termasuk
di dalamnya orang Sunda yang boleh dikatakan belum ada atau tidak ada sama sekali mempunyai figur yang bisa dielukan oleh orang Sunda itu sendiri.
  
Penjawab IX:
1.               R.OTO ISKANDARDINATA
2.               R. DEWI SARTIKA
3.               ALI SADIKIN
4.               TETEN MASDUKI
5.        R. HIDAYAT SURYALAGA
Alasannya : - Pengabdian dan keberanian menegakkan kebenaran dan nilai-nilai
                        luhur sebagai implementasi budaya Sunda yang luhur.

Penjawab X
1.      R.OTO ISKANDARDINATA
2.      PANGERAN KORNEL (PANGERAN KUSUMAHDINATA)
Alasannya : - Heroik

Bila direkapitulasi jumlah yang didapatkan:
  1.    Oto Iskandardinata :  4
              2.    Dewi Sartika :  3
              3.    Prabu Siliwangi : 2
  4.    Ali Sidikin :  2
  5.    K.H. Hasan Mustapa : 1
              6.    Kian Santang : 1
              7.    Pangeran Kornel (Pangeran Kusumadinata ) : 1
              8.    H.R.Dharsono :1 
              9.    Teten Masduki : 1
              10.   Uu Rukmana : 1
  11.   Hidayat Suryalaga :1
  11.   Marhaen (tokoh fiktif) :1

Dengan menyimak dan memaknai data yang sederhana di atas, dan setelah dibandingkan dengan penelusuran/penelitian lainnyayang pernah saya lakukan untuk sementara   saya usulkan  titik-titik di atas diisi dengan  ETIKA KEADILAN. Sehingga lengkapnya : ETIKA SUNDA adalah KEADILAN.

UNSUR  ETIKA KEADILAN
Leksem “adil” mengandung arti ...... 2 berpihak kepada yang benar; berpegang kepada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang, (KBBI: 1988)
Apa yang disebut dengan Kebenaran sungguh sangat relatif, bergantung kepada pandangan orang yang mengatakannya, adapun kebenaran yang tertinggi adalah yang SUMMUM BONUM, kebenaran tertinggi yang Ilahiah.

Tentu saja, karena etika bukan sesuatu yang matematis, maka akan selalu berkelindan erat antara prinsip etika kewajiban, kebijaksanaan maupun keadilan atau yang lainnya lagi; hanya saja akan ada salahsatu segmen dari ketiganya yang lebih signifikan yang menandai anutan etika suatu etnik, misalnya bagi Ki Sunda adalah etika Keadilan.
Rasa Keadilan salahsatunya akan terekpresikan dalan perilaku yang Heroik. Bila demikian ada benarnya apa yang pernah dikatakan  Tjetje Hidajat Padmadinata  yang lama berkecimpung dalam dunia “Kasundaan”, bahwa orang Sunda lebih menghargai kepahalawanan daripada kekuasaan.
Bila ini benar menjadi penanda Etika Sunda yang signifikan, kini yang perlu difikirkan adalah aktualisasi arti dan makna Keadilan dan Keheroikan  dalam tataran praksisnya. Semakin terasa relevansinya pada saat ini ketika keadaan masyarakat sekarang yang sangat memerlukan tegaknya keadilan. Perlu sekali “tandangnya pahlawan-pahlawan keadilan, yang berjiwa heroik dengan cara yang baik dan benar (herang caina beunang laukna) sebab kalau tidak dilandasi dengan falsafah “bil hikmah” maka berkemungkinan besar semangat heroik akan kebablasan (kalalanjoan) menjadi anarki (tunggul dirurud catang dirumpak ).

SIMPULAN SEMENTARA
      Seperti pada awal tulisan, wacana ini hanya untuk mengingatkan kita bahwa ada PR yang perlu kita lirik dan cermati, adakah etika Sunda yang signifikan?              Kalau ada bagaimana merevitalisasi dan mengkatualisakannya; sebab nilai etika bukan dalam tataran prinsip-prinsip fundamentalnya tetapi pada tataran perwujudannya yang nyata, dalam perilaku berkesenian (art) berkebudayaan (cultur) dan dalam berperadabannya (civilazation), yang akan terrefleksikan dalam masyarakat  Madani yang Mardotillah.
       Semoga gayung bersambut  tanya berjawab.

-----------------

Lembaga Kebudayaan Unpas – 1999

[ Dengan beberapa catatan  tambahan dari  makalah yang telah disampaikan pada forum  “JUM’AT PERADABAN “ DI LEMBAGA PENELITIAN UNPAS , 16 JULI 1999 ]


Buku Pelengkap:

SAINI KM . 1999 ( Dalam Dangiang edisi I/Mei-Juli 1999)
FRANZ MAGNIS SUSENO. 1993.  Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. PT Gramedia. Jakarta.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar. 1999. Pendidilan, Kebudayaan, dan Masyrakat Madani
                     Indonesia. PT emaja Rosda Karya. Bandung.
IBNU TAIMIYYAH. 1995. Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar.  Gema Insan Press.
                     Jakarta.
Tim Penulis Rosda. 1995. Kamus Filsafat. PT. Remaja Rosda Karya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud 1988
-----------------








ABSTRAKSI

 Berbincang mengenai Etika – sebuah kata dan pengertian yang universal – tentu menyangkut pula pada keberadaan  setiap diri dan setiap etnik. Lalu Etika Sunda bagaimana juntrungannya, baik yang bersifat  Moral sebagai acuan dan anutan hidup masyarakat ataupun yang bersifat aktual realistik dalam kehidupan berperilaku keseharian Ki Sunda. Tulisan ini mencoba mengayunkan langkah awal ke arah itu.


































BEBERAPA ASPEK ETIKA JAWA YANG BISA DIBANDINGKAN DENGAN ETIKA SUNDA PADA PERTEMUAN KALI INI, yaitu tentang:
    
      A. KOSMOLOGI JAWA  TIDAK IDENTIK DENGAN KOSMOLGI  SUNDA.
Dalam pencarian atas NUMINUS (Yang Ilahiah), kosmologi Jawa dapat dilihat  dalam 4 lingkaran/strata ( FMS dan C.Geertz :84)
1.      Bersifat ekstrovert; intinya sikap terhadap dunia luar; adikodrati, kekeramatan tanpa terkait  refleksi batin dirinya pribadi.
2.      Kekuasaan  politik sebagai ungkapan Numinus. Raja menjadi pusat yang berkadar Ilahiah.
3.      Pengalaman dan perjalanan pribadi (laku) sebagai jalan menyatu dengan yang Numinus.
4.      Penyerahan total kepada pengalaman yang Ilahiah, takdir.

       Insya-Allah saya berhasrat benar untuk membandingkan Kosmologi Jawa ini dengan kosmolgi Sunda, tentu saja dengan menggunakan data- data kebudayaan/folklorik dan data-data lain.
Menurut hemat saya dari 4 penanda yang di atas , secara signifikan tidak sama dengan  Kosmologi Sunda, terutama pada butir no 2. bagi KI Sunda bilapun ada konsep bahwa kekuasaan politik adalah sesuatu yang Numinus (Raja adalah hukum, sabda raja adalah sabda Tuhan) hanya dalam kadar yang relatif sedikit sekali, terutama sampai tahun 1578 (Tenggelamnya kerajaan Pajajaran, sebagai kahir dari kemandirian Otoritas Kerajaan Sunda), setelah itu kehidupan sosial Ki sunda diwarnai/dipengaruhi/didominasi oleh sistem budaya Mataram/Jawa (sistem birokrat kabupatian, sistem berbahasa,dsb).
     Pada no 1,3 dan 4 tentu akan didapatkan dalam kosmologi Sunda tetapi dalam perilaku serta akhir tujuan yang ingin dicapainya tidak identik dengan Jawa. Misalnya konsep Etika Jawa tentang  “Manunggaling kawula Gusti “ dan Sangkan paraning Dumadi” tidak persis sama. Hal lain sebagai akibat dari Etika Jawa yang sangat mengutamakan kekuatan eksternal bagi penyangga kekuatan internal dirinya (dimanfaatkannya “kekuatan” benda keramat, tempat keramat, guru-guru keramat, laku semedi/bertapa dsb), hal sejenis  tidak begitu kental mewarnai Etika Sunda, Pembenarannya bisa kita simak dalam pandangan hidup warga Baduy yang nengatakan bahwa “bertapa” itu  adalah “tapa di nagara” artinya mengerjakan tugas di tengah masyarakat, bertapa itu adalah bekerja dengan baik dan benar (anggeus lain enggeus). ini sejalan benar dengan sebagian dari isi prasati Kawali VII yabg diamatkan oleh Leluhur Sunda (Abad XIVM), bahwa ........ gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana  (....... bekerja kebaikan= sampai tuntas – untuk lama berjaya di dunia).
*
A.    DUA KAIDAH DASAR MASYARAKAT JAWA, yaitu
1.      PRINSIP RUKUN , intinya adalah:  keadaan selaras, harmonis tanpa perselisihan dan pertentangan; berprinsip pada pencegahan konfliks. Untuk berlaku rukun ditumbuhkan seni menyembunyikan perasaan yang disebut ethok-ethok, yaitu kemampuan untuk tidak berterus terang. “ Di lain pihak kebiasaan ber-ethok-ethok berarti  bahwa kita tidaka memberi informasi tentang suatu keadaan yang sebenarnya, ... “ (Etika Jawa :44)


2.      PRINSIP HORMAT, intinya bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Masyarakat itu teratur secara hirarkis. Setiap orang mengenal tempat dan tugasnya masing-masing sesuai dengan tatakrama sosial. Yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat; kepada yang berkedudukan lebih rendah harus bersikap kebapakan/keibuan dan rasa tanggung jawab.

Untuk ilustrasi ada pendapat Koentjaraningrat (dalam Etika Jawa hl 66), sikap hormat gaya Jawa dinilainya negatif. “ Ia menafsirkan sebagai salah satu alasan utama bagi korupsi, kekurangan kesadaran tanggungjawab obyektif dan efesiensi.. Suatu komunikasi sejati antara atasan dan bawahan tidak dapat berkembang: atasan memberi :briefing, wejangan, pengarahan; sedangkan bawahan menulis laporan, tetapi laporan itu biasanya bersifat ‘laporan kecap”, artinya sudah dirumuskan sesuai dengan  harapan atasan..........mempertahankan situasi yang saling menguntungkan, bawahan butuh proteksi dan   atasan  butuh  status,      yang disyahkan baik secara    psikologis  maupun moral ( penulis:Jawa).


LANGKAH KERJA KITA SELANJUTNYA
Sejak awal saya berpengharapan pertemuan ini adalah semacam re-introspeksi sejauh mana kesadaran batin kita (centris primus) dan komitmen kita terhadap tugas pribadi kita sebagai insan yang  ingin menjadi NYUNDA dan ISLAMI dalam KASUNDAAN yang kental baik sebagai insan PASUNDAN, NUSANTARA muapun penghuni PLANET GEO ini.
Saya tidak bermaksud membuat kessimpulan yang baku, tetapi saya lontarkan suatu tanya yang juga tidak perlu dijawab, yaitu:
APA YANG AKAN KITA KERJAKAN SEKARANG SETELAH KITA SIMAK ESENSI PERTEMUAN KITA KALI INI ?

Alhamdullillahhirobbil a’lamin

Berkat ijinNya jugalah kita dapat berbincang kali ini.
Wassalamualaikum wr wb.
Amin


SUKAASIH, 16- 7-1999 . 008.

*

BEBERAPA CATATAN TENTANG  ETIKA SUNDA, SETELAH DIANALOGIKAN DENGAN ETIKA JAWA.


1.      KAIDAH I.  INTERDEPENDENCY – SALING  KETEGANTUNGAN – DITANDAI DENGAN KAIDAH DASAR BERMASYARAKATNYA YAITU :
·         SILIH ASIH – SILATURAHMI
·         SILIH ASAH – SALING MENCERDASKAN/SALING INGATKAN
·         SILIH ASUH – PROPORSIONAL DAN PROFESIONAL
Tentang interdependency periksa Stephen R. Covey (.............................)

Bisa dirunut lagi secara makna semiotika/hermanetika untuk lebih menegaskan ke-interdependency-an al:
-          sistem berladang
-          sistem pesta taun
-          sistem sapaan
-          makna kata Pajajaran
-          makna kata Siliwangi

2.      KAIDAH  II. RASA HORMAT DALAM KESETARAAN
·         SISTEM MASYARAKAT BADUY


CATATAN-CATATAN KECIL:
-HEROISME YANG RAMAH, REFORMIS, GRADUAL, STRATEGIK, DIPLOMASI, KETAHANAN MENTAL.
- BUKAN HEROISME YANG RADIKAL REVOLUSIONER, KADANG INI MENYIRATKAN KEPANIKAN PSIKIS.

- KONSEP   9 R - CAGEUR, BAGEUR, BENER ,PINTER, PANGGER, TEGER, WANTER, SINGER, CANGKER sebagai prasayarat indivu

---------------------

No comments:

Post a Comment