Oleh : *Tubagus Hidayat,M.Hum
Jika melihat isi dari UU tersebut pendidikan karakter yang tengah
menjadi pembicaraan hangat di dunia pendidikan kita sebetulnya sudah tersurat, Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan
dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta
mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari. Melalui program ini diharapkan setiap lulusan memiliki
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter
mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki
kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Karakter yang dimaksud
terdiri diantaranya adalah; religius. jujur,toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.
Dari berbagai sumber yang ada yang menjadi dasar pendidikan
karakter ini adalah kondisi sosial masyarakat saat ini, berbagai persoalan sosial
yang terjadi sekarang adalah akibat lemahnya sikap toleransi antar sesama
masyarakat, menurunnya wibawa pemerintah karena berbagai kebijakannya yang
dianggap tidak pro rakyat, melemahnya peranan norma dalam mengatur ketertiban
masyarakat hingga ketidak percayaan terhadap hukum. Semuanya itu memunculkan
berbagai perilaku perilaku anarkis, sadistis, konfrontatif serta berbagai
tingkah laku lain yang bertentangan dengan norma sosial, susila, dan agama.
Banyak hasil
penelitian yang membuktikan bahwa karakter seseorang dapat mempengaruhi
kesuksesan seseorang. Di antaranya berdasarkan penelitian di Harvard
University
Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80
persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa
berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft
skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan
bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Sementara itu Ratna Megawangi (2007) dalam bukunya “Semua Berakar Pada
Karakter” mencontohkan bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan
karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya pendidikan karakter adalah untuk
mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good (suatu
proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga
berakhlak mulia).
Dalam beberapa kasus di
beberapa negara . Kelas-kelas yang secara komprehensif
terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku
negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik. Pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive),
perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Sejalan dengan hal tersebut, ketiga aspek ini
pendidikan karakter tidak akan efektif dan pelaksanaannya pun harus dilakukan
secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak
akan menjadi cerdas emosinya.
Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak
menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam
menghadapi segala macam tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara
akademis. Sebuah buku berjudul Emotional Intelligence and
School
Success
karangan Joseph Zins (2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang
pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dalam
buku itu dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan
anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak
pada kecerdasan otak tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan
bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan
kemampuan berkomunikasi.
Pada beberapa penelitian menunjukan keberhasilan seseorang di
masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi dan hanya 20
persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah
dalam kecerdasan emosinya akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak
dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat
sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia
dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi
tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja
seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan
sebagainya. Selain itu, banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter
anak-anaknya. Entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek
kognitif anak. Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar
dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Apabila seorang anak
mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan
berkarakter baik selanjutnya. Banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek
kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Berdasarkan hal tersebut
terbukti bahwa pentingnya pendidikan karakter, baik di rumah ataupun di
pendidikan formal.
Jadi, sangat
jelas dan beralasan pendidikan berkarakter memang sangat diperlukan, tinggal berbagi
peran karena ternyata bukan hanya tugas
guru, sekolah atau pemerintah saja tetapi orangtua dan masyarakatpun harus ikut
berperan dalam implementasi pendidikan berkarakter ini. Guru memiliki peran
sentral dalam proses pendidikan karakter. Guru harus mendapatkan
program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme
yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru tidak hanya menjadi
pahlawan tanpa tanda jasa, Guru juga harus mendapatkan tanda jasa, penghargaan
dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya, sehingga setiap
inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya
dengan baik. Rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan
pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. keluarga
hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang atau
tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak
semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu
penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain
sebagainya. Pemberian penghargaan
(prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar,
menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan
mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Lingkungan
masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang.
Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Situasi kemasyarakatan
dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang
masyarakat secara keseluruhan
Mencermati pendidikan berkarakter, jadi teringat perubahan-perubahan
kurikulum pendidikan kita dari CBSA (cara belajar siswa aktif) , KBK (kurikulum
berbasis kompetensi), KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) , lalu
perubahan-perubahan konsep dan teknis kurikulum. Salahkah? Tentu saja tidak
karena begitulah pendidikan, lebih banyak preskriptif.
Apapun itu tentang pendidikan berkarakter sudah sepatutnya
memperhatikan beberapa catatan diantaranya sosialisasi yang sinergis dan lebih
efektif untuk insan pendidikan serta bagaimana strategi implementasi di tataran
teknis agar program ini bisa cepat dirasakan oleh masyarakat terutama peserta
didik sebagai output pendidikan. Meskipun pendidikan kadang preskriptif dan banyak faktor untuk mencapai
keberhasilannya sudah menjadi tuntutan bersama untuk mengoptimalkan implementasi pendidikan berkarakter agar
mencapai tujuan yang diinginkan.
Dunia pendidikan indonesia
juga tidak boleh melupakan atau pura-pura lupa bahwa fasilitas
pendidikan sekolah-sekolah kita masih
belum merata , sekolah-sekolah masih banyak yang rusak dan kurang mendapat
perhatian, biaya pendidikan yang mahal, kesejahteraan
tenaga pendidik, sertifikasi guru dan pemerataan guru, persoalan tenaga
pendidik dan guru honorer, pelaksanaan ujian nasional dan beragam persoalan-persoalan
dunia pendidikan yang sudah seharusnya mendapat perhatian dan penanganan nyata
dengan segera. (dari berbagai sumber)
*Tubagus Hidayat
Guru di SMKN 2
No comments:
Post a Comment