SEKALI LAGI , PERSOALAN NILAI SISWA DI SEKOLAH
Oleh: * Tubagus Hidayat
Meskipun bukan satu-satunya faktor
penentu, begitu banyak masa depan peserta didik
yang tergantung pada hasil dari penilaian di sekolah. Program beasiswa,
masuk jenjang perguruan tinggi, mendapatkan pekerjaan lebih banyak ditentukan
oleh angka-angka dalam raport atau ijajah maka tidaklah berlebihan untuk
mengatakan betapa pentingnya penilaian yang berujung pada angka-angka ini.
Penilaian merupakan bagian integral
dari proses yang berkelanjutan dalam pendidikan untuk belajar dengan efektif
dan upaya untuk meningkatkan proses belajar tersebut . Namun, Benarkah bahwa siswa dengan
angka-angka terbaik itu adalah siswa pintar? Banyak kasus di sekolah penilaian siswa berdasarkan pada
deretan panjang proses penilaian terhadap siswa yang terdiri dari Test Harian /
LK + test formatif + performa + tugas / PR + Test Sumatif = Nilai akhir. Dan yang terjadi, nilai akhir ini merupakan penggolongan
siswa dan ‘labeling’ siswa bodoh, menengah dan pintar. Guru menjadi super sibuk menilai lembar-lembar kerja siswa,
ulangan, PR, tugas plus
indikator-indikator penilaian. Banyak
pula kasus orang tua pun bangga dan merasa anaknya telah berhasil belajar hanya
dengan melihat angka-angka fantastis dan
rangking di kelas nya.
Dengan
perkembangan konsep belajar saat ini, Guru dan Sekolah sudah saatnya
meninggalkan penilaian seperti itu. Selain tidak efektif bisa jadi hanya akan
membuat stress guru apalagi dengan
tuntutan administrasi pembelajaran yang kadang
malah membuat ‘renced’. Pola penilaian
demikian tidak akan memberikan siswa ruang untuk berbuat salah, jika berbuat
salah atau salah mengisi soal artinya bodoh masa depan suram, jika berhasil
mengisi test dengan benar maka pintar dengan masa depan cerah. Akibatnya jika
melakukan kesalahan berpengaruh pada nilai raport, siswa takut nilai kecil
karena kalau nilai kecil artinya ‘papan bawah’ di kelas sehingga memunculkan
budaya nyontek dan segala cara untuk mendapatkan angka-angka yang dianggap
standar/baik tersebut, peserta didik pun tak kalah sibuknya mengikuti bimbel di
luar sekolah, menghafalkan seabrek soal-soal dan jawaban yang membuat siswa
kelelahan, akibatnya Guru dan siswa sama-sama terobsesi pencapaian nilai
tinggi. Padahal hakikat belajar adalah
proses. Ibarat bayi yang sedang belajar berbicara tidak serta merta bisa
mengucapkan vokal,konsonan atau kata dengan tepat tetapi selama belajar bahasa
itu terjadi kesalahan-kesalahan pengucapan . Singkatnya belajar adalah sebuah
proses bukan menjejalkan atau menghafalkan jawaban soal-soal test. Distorsi
makna belajar.
Bukan
berarti penilaian tidak penting dalam sebuah proses belajar di sekolah.
Penilaian dan evaluasi belajar merupakan rangkaian dan bagian penting dari proses pembelajaran yang
bermakna. Orientasi penilaian tidak saja sekedar siswa mencapai poin nilai standar
tetapi sebagai perangkat untuk membantu siswa melalui tahapan dan proses
belajarnya serta menjadi bahan evaluasi guru menilai efektifas dalam
menyampaikan materi; metode, gaya, dan memilih
bahan ajar yang sesuai dengan karakter peserta didik. Angka-angka raport,
ijajah itu penting tetapi banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika
menuliskan angka-angka tersebut.
Dengan
penilaian seperti itu guru dapat mencoba cara lain atau pendekatan lain yang lebih
mudah dipahami siswa dalam proses pencapaian suatu kompetensi. Penilaian pada dasarnya untuk
mengetahui posisi pemahaman siswa pada suatu proses pembelajaran. Bukan
menggolong-golongkan siswa atau bahkan
memberikan ranking dan stempel
bodoh dan pintar. Keberadaan siswa di sekolah terdiri atas beragam kemampuan,
bermacam-macam karakter dan berbagai potensi prestasi. Bukan persoalan bodoh
pintar tetapi menempatan pembelajaran sesuai dengan kemampuan memahami dan
mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Sekolah yang
mengedepankan siswa sebagai sasaran pendidikan dan berorientasi pada daya saing
masa depan tidak menjadikan semua hal
yang dikerjakan siswa dalam proses belajar; PR, ulangan harian atau LK harian, test
formatif sebagai komponen dari sistem ranking atau penilaian di akhir
pembelajaran. Jika siswa salah dalam
mengerjakan ulangan harian, LK, PR harian ataupun formatif maka tidak
dimasukkan sebagai bahan penyusunan nilai rapot.
Test akhir
pembelajaran memang sangat penting tetapi test tersebut adalah test proses
belajar outputnya bukan pengklasifikasian nilai-nilai standar. Penyusunan nilai
raport, nilai ijajah selayaknya
mempertimbangkan berbagai aspek. Kelulusan
, naik jenjang memerlukan penilaian yang tidak parsial tetapi melihat dan
mencermati siswa selama proses pembelajaran. Nilai berfungsi sebagai feed back bagi anak itu sendiri dan guru sebagai
fasilitator belajar, untuk terus berupaya mencari cara terbaik dalam proses
pembelajaran. Mengevaluasi kemampuan dirinya sendiri supaya peserta didiknya
mendapatkan pembelajaran yang optimal dan bermakna.
Pengertian
dari Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment) harus betul betul
dipahami Guru dan Sekolah. Penilaian siswa harus memenuhi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan.
Ketika itu telah terjadi dalam standar penilaian di sekolah, maka siswa akan
merasakan keadilan dari nilai yang diberikan oleh guru. Guru dan siswa
merasakan bahwa sistem penilaian yang diberikan sama-sama menguntungkan kedua
belah pihak. Guru bisa melihat kemampuan setiap peserta didik, dan peserta
didikpun merasakan kemampuan apa yang telah dikuasainya. Terjadilah penilaian
obyektif dari pendidik kepada peserta
didiknya.
Pendidikan di sekolah
selayaknya menghargai dan mengembangkan segenap potensi peserta
didik ; tidak saja dimensi kognitif, namun juga kemampuan
afektif, psikomotorik dan potensi unik lainnya. Siswa dihargai bukan karena ia memiliki
angka-angka sesuai standar atau rangking-rangking terbaik di kelasnya melainkan karena ia memiliki potensi yang positif
*Guru di SMKN 2 Purwakarta
No comments:
Post a Comment