Pertama, sebagai media penyalur potensi menulis.
Jamak diketahui, keterampilan menulis di kalangan pelajar Indonesia
belum bisa dikatakan menggembirakan. Sementara ada siswa yang memiliki
minat menulis namun terkendala oleh ketiadaan media untuk menampung
ide-ide mereka. Memang bisa saja para pelajar memanfaatkan media blog di
internet untuk menjadi ajang mengasah keterampilan menulis. Namun, di
daerah-daerah tertentu, keterbatasan akses internet tentu bisa menjadi
suatu hambatan. Nah, majalah sekolah atau setidaknya majalah dinding
bisa menjadi sarana untuk menampung siswa dalam belajar menulis. Dengan
demikian, potensi mereka bisa terus diasah melalui sarana majalah
sekolah.
Kedua, media komunikasi.
Ya, majalah sekolah bisa menjadi salah satu media komunikasi
antarelemen sekolah. Mulai siswa, guru, karyawan sekolah, hingga kepala
sekolah. Beragam informasi bisa mereka dapatkan di sana. Misalnya, dalam
majalah sekolah, guru menulis tentang pembelajaran fisika yang mudah
dan menyenangkan. Tentu saja tulisan ini akan membuang stigma di
kalangan murid bahwa fisika itu sulit. Dengan adanya artikel tersebut,
diharapkan ada interaksi antara siswa dan guru. Siswa bisa bertanya
lebih lanjut tentang hal-hal yang belum dikupas dalam artikel tersebut
yang terkait dengan mata pelajaran fisika. Di sisi lain, kepala sekolah
juga bisa unjuk gigi. Misalnya, menulis artikel yang memotivasi para
siswa untuk giat belajar. Contohnya, sukses itu hanya bisa dicapai
dengan kerja keras dan tekun belajar. Dalam artikel tersebut, misalnya,
sang kepala sekolah memaparkan kisah inspiratif dari penemu kelas dunia
seperti Thomas Alva Edison, Albert Einstein, dan lain-lain. Siswa
sendiri juga bisa menuangkan gagasan-gagasannya. Misalnya, menulis
tentang guru favorit seperti apa yang mereka dambakan. Termasuk
menyebutkan kriteria seperti apa guru favorit itu.
Ketiga, media pembelajaran berbasis baca-tulis. Menurut Deki Mamalu (2008), pada
saat pengajaran pokok bahasan membaca, siswa dilatih untuk memahami
bacaan-bacaan yang termuat di majalah sekolah serta membedakan bacaan
yang menarik dan yang tidak menarik. Mereka juga bisa menyusun tanggapan
secara tertulis tentang isi bacaan yang tidak nalar, kemudian tanggapan
itu dapat diterbitkan pada edisi majalah berikutnya.
Keempat, media belajar organisasi.
Dalam majalah sekolah, tentu ada awak redaksi yang menangani
penerbitannya. Misalnya, ada pembina umum yang biasanya dijabat oleh
kepala sekolah. Kemudian ada pembimbing yang biasanya diisi oleh guru
ekstrakurikuler jurnalistik atau guru mapel bahasa Indonesia.
Selanjutnya, terdapat tim inti penerbitan majalah sekolah. Mereka
terdiri atas pemimpin redaksi (pemred), reporter, editor atau penyunting
kebahasaan, tenaga tata letak (lay outer), tenaga ilustrator
dan grafis, serta tim pemasaran dan distribusi. Secara tidak langsung,
tim majalah sekolah bisa mendapat pengalaman tentang mengelola dan
menjalankan roda organisasi. Hal ini juga bisa melatih siswa untuk
terbiasa bekerja secara disiplin. Sebab, majalah sekolah juga memiliki deadline untuk penerbitan.
Kelima, penyemai demokrasi.
Tim majalah sekolah yang rata-rata beranggota para siswa juga bisa
mendapat manfaat tentang belajar demokratis. Sebelum majalah sekolah
terbit, tim redaksi tentu melaksanakan rapat redaksi untuk
menentukan tulisan dan rubrik apa saja yang akan dimuat pada edisi
selanjutnya. Dalam rapat tersebut, pasti muncul ide-ide baru dan awak
redaksi lain bisa memberikan tanggapan, mana yang lebih baik demi
kepentingan penerbitan majalah sekolah. Seluruh ide yang masuk
didiskusikan kembali di internal redaksi dengan melibatkan guru
pembimbing.
pertanyaan besarnya adalah:..SIAPA YANG MENDANAI? BUKANKAH INI JADI PEKERJAAN EKSTRA BUAT GURU :) .......tetapi alangkah indahnya jika sekolah kita mempunyai majalah sekolah
No comments:
Post a Comment