ETIKA SUNDA
(SUATU
KERANGKA KAJIAN AWAL DALAM MENELUSURI
KARAKTER FITRIAH MANUSIA SUNDA SEBAGAI UPAYA KONTRIBUSI BAGI
“NGERTAKEUN
BUMI LAMBA” /RAKHMATAN LIL ALAMIN)
OLEH : HIDAYAT SURYALAGA
LEMBAGA
KEBUDAYAAN UNPAS.
Tulisan ini
hanyalah langkah awal, suatu kerangka bangunan imajiner yang sangat memerlukan
bantuan serta dorongan dan urun rembug dari setiap disiplin ilmu dan sudut
pandang pemikiran para awak-awak Ki Sunda dalam menata Punden Etika Ki Sunda” (Punden
= bangunan/tempat atau sesuatu yang disakralkan). Sesuatu yang disakralkan
tentu harus berlandaskan yang religius, yang Ilahiah.
LANDASAN FALSAFI RELIGI:
Seyogyanyalah segala yang akan kita bangun dan kerjakan berlandaskan falsafah yang religius dan Ilahiah, yaitu:
-
Setiap manusia diciptakan
Alloh SWT mempunyai tugas masing-masing. (Q.S ...........) ini bisa diartikan
bahwa setiap pribadi insan mempunyai sesuatu yang harus dikerjakannya baik bagi
dirinya/individu maupun bagi orang
lain/masyarakat/sosial
-
Alloh SWT juga menciptakan
kabilah/kaom/ etnisk bangsa. Ini bisa diartikan bahwa penanda setiap Etnik
adalah kebudayaan dan peradabannya. Tidak seragam, dalam ketidak-seragaman-lah
di antaranya terlihat ke-Akbaran Allah SWT. (Q.S 49:13)
-
Manusia sebagai khalifatullah fil ardi yang diberi amanah untuk berperan menjadi
(Q.S.27:62)
-
Rakhmatan lil Alamin. Ini dapat
ditafsirkan bahwa manusia yang ditugasi untuk menjadi pemimpin, harus mempunyai
“kepemimpinan/leadership” yang mampu mewujudkan kesejahteraan umat dan alam.
Dari
landasan falsafi religi di atas bisa
menentukan langkah selanjutnya untuk dijadikan pola bertindak, bahwa:
1. Manusia perlu tahu
apa tugas dirinya
pribadi. Kuatnya ketekadan
batin seseorang - - ceteris
peribus- yang mendasari seluruh tekad dan perilaku seseorang sangatlah
penting. ( Misalnya pada langkah awal,memberi tugas kepada diri sendiri, ini berkaitan dengan seberapa
mampu seseorang memenej kualitas egonya sendiri).
2. Kualitas ego setiap individu bila secara merata telah dipunyai oleh
insan-insan yang berada di satu lingkungan
akan mewujudkan karakter lingkungannya dan pada gilirannya akan
mewujudkan karakter peradaban etnisnya.
3. Karakter individu/etnis inilah yang akan mewarnai cara seorang khalifah
/ pemimpin dalam menjalankan ETIKA kepemimpinannya.
Pertanyaan
yang timbul adalah:
Adakah karakter Etika yang khas melekat
pada KI SUNDA? Bila ada bagaimana sebaiknya karakter Etika KI SUNDA tsb dimanfaatkan secara
optimal dalam menyiasati masalah hidupnya sendiri serta hidup bermasyarakat
baik lokal, nasional maupun mondial/internasional.
Faktor penegas bahwa pertanyaan itu
pantas untuk dicarikan jawabnya, sebab
realitanya Masyarakat Sunda
secara historis telah ada sejak tahun 132 M (Kerajaan Salaka Nagara di daerah
Pandeglang/Banten), dan pada saat sekarang penduduk Jawa Barat (tentu sebagian
besar etnis Sunda) telah berjumlah lebih
dari 36 juta jiwa, jumlah terbesar kedua di Indonesia. Maka bisa diasumsikan
bahwa tentu ada penanda yang signifikan
“karakter Ki Sunda” dalam ETIKA HIDUPNYA, lebih khusus lagi ETIKA
KEPEMIMPINANNYA. Obsesi inilah yang mendorong penulis berusaha untuk menelusuri
dan mengkajinya; tentu saja hanya baru sebatas
serpihan yang dalam idiomatika Sunda disebut dengan sesemplekan talawengkar, yang bila di tata kembali tidak mustahil
akan menemukan bentuk/format yang utuh.
Langkah yang saya tempuh untuk mencari
jawab atas pertanyaan di atas saya coba dengan merunut pola deduktif atau lebih
pasnya lagi dari penelusuran yang bersifat makro
ke arah mikro, dari yang “luar/eksternal”
ke arah yang “dalam/internal” yang akan berakhir pada APA YANG HARUS DILAKUKAN
SETIAP INDIVIDU KI SUNDA DALAM MEMENEJ DIRINYA agar menjadi Khalifah yang
Rakhmatan lil alamin.
Buku ETIKA
JAWA karya Fran\z Magnis Suseno (FMS), saya gunakan sebagai bahan awal bagi
bahan banding/analogi. Buku ini saya jadikan acu- banding selain karena
satu-satunya buku yang berorientasi
kepada etika suatu etnik (Jawa) juga ditulis oleh non etnik Jawa
dilengkapi kajian ilmiah yang mendalam a.l
dari Clifford Geertz dan Hildred Geertz, Anderson dll. (Buku sejenis ini
tentang Sunda belum ada yang lengkap).
Sebagai terminal awal kajian kali ini,
saya akan menggunakan pengertian-pengertian yang digunakan oleh Franz Magnis
Suseno, ini memudahkan dalam menstrukturkan / mengkonstruksikan cara berpikir yang runut. Meskipun ada bahaya
kebablasan karena lebih cenderung pada konstruksi teoritis yang
memungkinkan terabaikannya kajian empiris faktual, meskipun
keberangkatan awal FMS berasal dari
kajian data faktual.
Saya mulai dengan
istilah-istilah kunci:
APA/SIAPA YANG DISEBUT KI SUNDA
Penyebutan
orang Sunda dengan kata sandang KI, tidak diartikan sebagai penanda gender
maskulin (seperti nama Ki (Kai) Enjum, Ki (Kai) Udin) tetapi lebih cenderung
kepada penanda / penegas, searti dengan kata THE dalam bahasa Inggris.
Dengan
demikian KI SUNDA, tidak saya definisikan sebagai suatu yang “tetap” terukur
secara lahiriah, tetapi dimaknai lebih abstrak, sesuatu yang
fitriah primordial/
sunatullah. Sebab KI SUNDA pun
dalam keberadaannya akan tetap bergulir menapaki rentang waktu
dan ruang, ada KI SUNDA BIHARI, KAMARI,
KIWARI dan BARING SUPAGI (yad) .
Bila SUNDA
merupakan kata benda, maka kata
kerja/perilakunya disebut NYUNDA ;
kata sifat- nya adalah
KASUNDAAN dan waktu &
ruang
gerak keberadaannya disebut
PA
- SUNDA –AN -> PASUNDAN.
Ada penjelasan yang lebih gamblang tentang apa ciri
dari yang disebut Orang Sunda (Ki Sunda), seperti yang ditulis SAINI KM (dalam
: Dangiang edisi I/1999): .... harus lebih dari hubungan intelektual,
melainkan juga emosional dan bahkan intuituf yang sudah menjadi bagian
kepribadiannya dan dengan demikian menentukan caranya berpikir dan bertindak.
Tidak hanya memahami dan memiliki pengetahuan tentang kasundaan, tetapi
menghayatinya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari secara tidak
sadar
APA ETIKA.
Secara
lengkap saya nukil dari tulisan Franz Magnis Suseno, bahwa: Kata “etika” dalam
arti sebenarnya mengenai bidang moral” jadi etika merupakan bidang atau
refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah-istilah
moral. Lebih luas lagi “Keseluruhan norma dan penilaian yang digunakan dalam
masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya
menjalankan/i kehidupannya; jadi di
mana mereka menemukan jawaban atas pertanyaan: bagaimana saya harus membawa diri, bersikap, bertindak agar hidup saya
“berhasil”
Jadi pada
hakekatnya ETIKA adalah seni hidup manusia dalam menapaki kehidupannya
untuk mencapai eudaemonia (kebahagiaan), bagi KITA tentu yang harus “berhasil”
adalah kebahagian dunia wal akhirah.
MENGKAJI ETIKA SUNDA UNTUK APA?
Bila
pengertian Etika diartikan seperti itu, maka tak pelak lagi kajian kita ini
untuk menjawab sederet tanya di atas, dan akan bermuara pada pembuktian
landasan falsafi religi (Islam) sebagai awal dan akhir kehidupan dari makhluk yang ditugasi untuk menjadi
Rakhmatan lil alamin.
Makin
terasa lebih konperhensif dan aktual lagi, karena kita sependapat, KI SUNDA
masa kini hidup di tengah Rakyat Indonesia yang tengah haru biru, terpuuk
hampir ambruk karena keroposnya ETIKA / MORAL sejak dari ulu sampai ke ilir; dari lapis elita
sampai lapis jelata.
Ke arah
berupaya mengatasi masalah inilah tulisan ini dibuat, sebagai suatu tarekah
mengkontribusikan keberadaan KI SUNDA bagi peradaban bangsa baik lokal,
nasional maupun mondial melalui kualitas etika/moral.
Tentu saja perlu selalu
diingat bahwa apapun perbaikan yang akan kita rancang harus dimulai dari DIRI SENDIRI
-IBDA BIN NAFSI – AWIT TI JATI
DIRI dengan langkah awal Gnothi se auton ( Socrates; kenalilah dirimu sendiri) .
ETIKA SUNDA
ADALAH ..............?
Sungguh saya terobsessi dengan ungkapan FMS, bahwa
tuntutan utama dalam ETIKA JAWA adalah ETIKA
KEBIJAKSANAAN, adapun “ETIKA BARAT”condong kepada ETIKA KEWAJIBAN (Etika
Jawa : 225), walaupun kedua
jenis etika tersebut relativ sering berbaur.
Lalu untuk
Ki Sunda? Apakah condong kepada ETIKA KEBIJAKSANAAN atau KEWAJIBAN, atau
kedua-duanya, atau adakah penanda lain yang lebih signifikan lagi.
Penelusuran
untuk mencari jawab atas “kapanasaran”
ini, jelas tidak bisa ASAL main tebak, harus lebih mendalam dan mendasar.
Sebagai langkah awal, saya pernah mencoba mengumpulkan pendapat orang tentang yang diangankan mengenai seorang
karakter/Etika pemimpin Sunda atau yang Nyunda.
[ Pada kesempatan
pertemuan kali itu pun saya coba ulangi menyampaikan isian kuesioner pada yang
hadir. Dua nomor kuesioner yang saya sampaikan sebagai berikut:
I.
SEBUTKAN/TULISKAN 5 ORANG YANG ANDA ANGGAP SEBAGAI TOKOH IDOLA ORANG
SUNDA; BOLEH SIAPA SAJA SEJAK JAMAN BAHEULA SAMPAI SAAT INI, LAKI-LAKI ATAU PUN
PEREMPUAN
II.
MENURUT ANDA MENGAPA KELIMA ORANG TERSEBUT DIANGGAP SEBAGAI TOKOH/IDOLA
.
CATATAN
Ketika
pertemuan di mulai, saya bagikan lembaran kertas dengan pertanyaan seperti di
atas. Yang ikut mengisi ada 9 orang, terdiri dari seorang doktor pria , 2 orang dosen senior pria, 2 orang dosen
senior wanita dan 4 mahasiswa/pria
tingkat ahir dari beberapa fakultas yang ada di Unpas, ditambah selembar
jawaban angket dari mahasiswa Fakultas Adab IAIN.
Di hadapan yang hadir, saya
bacakan satu-persatu jawaban kuesioner sederhana tsb. beserta alasannya,
tercatat seperti berikut:
Penjawab I:
1.
OTO ISKANDARDINATA
2.
K.H.HASAN MUSTAPA
3.
KIAN SANTANG
Alasannya: - Memberi citra dan
jatidiri Ki Sunda.
- Membawa nilai-nilai
manusia yang universal.
Penjawab II:
1. RD.DEWI SARTIKA
Alasannya: - Karena beliau sebagai pelopor pendidikan
di Tatar Sunda.
Penjawab III:
1. OTO ISKANDARDINATA
Alasannya : Peran sosial politik
dalam konteks Nasional, ketika menjadi Ketua
Umum Paguyuban Pasundan
cukup bermakna. Hal tersebut
merupakan kontribusi Ki
Sunda untuk Negara tercinta Indonesia
termasuk Tatar Sunda.
Penjawab IV.
1. DAENG SUTIGNA
Alasannya : Karena dengan jasa beliau khususnya di budaya
Sunda; sampai
sekarang musik digunakan
dan dikenang oleh masyarakat Sunda.
Penjawab V.
1.
PRABU SILIWANGI
2.
MARHAEN (TOKOH FIKTIF)
Alasannya : Untuk no 1 :
Kepemimpinan Egaliter
Untuk no 2 :
Kesederhanaanya.
Penjawab VI:
1.
PRABU SILIWANGI
2.
DEWI SARTIKA
3.
ALI SADIKIN\
4.
HR.DHARSONO
Alasannya
: Untuk no 1: Prabu Siliwangi karena kepemimpinannya yang adil dan
rakyatnya (pada jamannya)
dikenal sebagai rakyat yang makmur.
Untuk no 2 : Dewi
sartika, karena perhatiannya pada rakyat kecil. dia
berikan sesuatu yang
berharga bagi seorang anak; pendidikan.
Untuk no 3 : Bang
Ali dikenal sebagai pemimpin yang konsisten, teguh
dalam pendirian dan
memperhatikan segala aspek kehidupan
masyarakat tidak hanya politik, ekonomi.
Untuk no 4 :
H.R.Dharsono dijadikan idola karena kedekatannya
kepada rakyat. Bahkan dia menyamar untuk bisa menyampaikan
kebenaran.
Penjawab
VII :
1.
TIDAK ADA
Alasannya
: -
Penjawab VIII :
1.
UU RUKMANA:
Alasannya : (Hanya ada catatan: Krisis kepemimpinan
secara Nasional, termasuk
di dalamnya orang Sunda yang boleh dikatakan belum
ada atau tidak ada sama sekali mempunyai figur yang bisa dielukan oleh orang Sunda
itu sendiri.
Penjawab IX:
1.
R.OTO ISKANDARDINATA
2.
R. DEWI SARTIKA
3.
ALI SADIKIN
4.
TETEN MASDUKI
5. R. HIDAYAT SURYALAGA
Alasannya : - Pengabdian dan
keberanian menegakkan kebenaran dan nilai-nilai
luhur sebagai
implementasi budaya Sunda yang luhur.
Penjawab X
1. R.OTO ISKANDARDINATA
2. PANGERAN KORNEL (PANGERAN
KUSUMAHDINATA)
Alasannya : - Heroik
Bila direkapitulasi jumlah
yang didapatkan:
1. Oto Iskandardinata : 4
2. Dewi Sartika : 3
3. Prabu Siliwangi : 2
4.
Ali Sidikin : 2
5.
K.H. Hasan Mustapa : 1
6. Kian Santang : 1
7. Pangeran Kornel (Pangeran
Kusumadinata ) : 1
8. H.R.Dharsono :1
9. Teten Masduki : 1
10. Uu Rukmana : 1
11.
Hidayat Suryalaga :1
11.
Marhaen (tokoh fiktif) :1
Dengan menyimak dan memaknai
data yang sederhana di atas, dan setelah dibandingkan dengan
penelusuran/penelitian lainnyayang pernah saya lakukan untuk sementara saya usulkan
titik-titik di atas diisi dengan ETIKA
KEADILAN. Sehingga lengkapnya : ETIKA SUNDA adalah KEADILAN.
UNSUR ETIKA KEADILAN
Leksem “adil” mengandung
arti ...... 2 berpihak kepada yang benar;
berpegang kepada kebenaran; 3 sepatutnya; tidak sewenang-wenang, (KBBI:
1988)
Apa yang disebut dengan Kebenaran sungguh sangat relatif, bergantung kepada
pandangan orang yang mengatakannya, adapun kebenaran yang tertinggi adalah yang SUMMUM BONUM, kebenaran
tertinggi yang Ilahiah.
Tentu saja, karena etika
bukan sesuatu yang matematis, maka akan selalu berkelindan erat antara prinsip etika kewajiban, kebijaksanaan
maupun keadilan atau yang lainnya
lagi; hanya saja akan ada salahsatu segmen dari ketiganya yang lebih signifikan
yang menandai anutan etika suatu etnik, misalnya bagi Ki Sunda adalah etika
Keadilan.
Rasa Keadilan salahsatunya
akan terekpresikan dalan perilaku yang Heroik. Bila demikian ada benarnya apa
yang pernah dikatakan Tjetje Hidajat
Padmadinata yang lama berkecimpung dalam
dunia “Kasundaan”, bahwa orang Sunda lebih menghargai kepahalawanan daripada kekuasaan.
Bila ini benar menjadi
penanda Etika Sunda yang signifikan, kini yang perlu difikirkan adalah
aktualisasi arti dan makna Keadilan dan
Keheroikan dalam tataran praksisnya. Semakin terasa
relevansinya pada saat ini ketika keadaan masyarakat sekarang yang sangat
memerlukan tegaknya keadilan. Perlu sekali “tandangnya pahlawan-pahlawan
keadilan, yang berjiwa heroik dengan cara yang baik dan benar (herang caina beunang laukna) sebab kalau
tidak dilandasi dengan falsafah “bil hikmah” maka berkemungkinan besar semangat
heroik akan kebablasan (kalalanjoan)
menjadi anarki (tunggul dirurud catang
dirumpak ).
SIMPULAN SEMENTARA
Seperti pada awal tulisan, wacana ini
hanya untuk mengingatkan kita bahwa ada PR yang perlu kita lirik dan cermati,
adakah etika Sunda yang signifikan?
Kalau ada bagaimana merevitalisasi dan mengkatualisakannya; sebab nilai
etika bukan dalam tataran prinsip-prinsip fundamentalnya tetapi pada tataran
perwujudannya yang nyata, dalam perilaku berkesenian (art) berkebudayaan
(cultur) dan dalam berperadabannya (civilazation), yang akan terrefleksikan
dalam masyarakat Madani yang
Mardotillah.
Semoga gayung bersambut tanya berjawab.
-----------------
Lembaga Kebudayaan Unpas – 1999
[ Dengan
beberapa catatan tambahan dari makalah yang telah disampaikan pada
forum “JUM’AT PERADABAN “ DI LEMBAGA
PENELITIAN UNPAS , 16 JULI 1999 ]
Buku Pelengkap:
SAINI KM . 1999 ( Dalam Dangiang edisi I/Mei-Juli 1999)
FRANZ MAGNIS SUSENO.
1993. Etika Jawa. Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
PT Gramedia. Jakarta.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar.
1999. Pendidilan, Kebudayaan, dan
Masyrakat Madani
Indonesia. PT emaja Rosda Karya.
Bandung.
IBNU TAIMIYYAH. 1995. Etika Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar. Gema Insan Press.
Jakarta.
Tim Penulis Rosda. 1995. Kamus Filsafat. PT. Remaja Rosda Karya.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Depdikbud 1988
-----------------
ABSTRAKSI
Berbincang mengenai Etika – sebuah kata dan pengertian yang universal
– tentu menyangkut pula pada keberadaan
setiap diri dan setiap etnik. Lalu Etika Sunda bagaimana juntrungannya,
baik yang bersifat Moral sebagai acuan dan anutan hidup masyarakat ataupun yang bersifat aktual realistik dalam kehidupan berperilaku keseharian Ki Sunda.
Tulisan ini mencoba mengayunkan langkah awal ke arah itu.
BEBERAPA ASPEK ETIKA JAWA
YANG BISA DIBANDINGKAN DENGAN ETIKA SUNDA PADA PERTEMUAN KALI INI, yaitu tentang:
A. KOSMOLOGI
JAWA TIDAK IDENTIK DENGAN KOSMOLGI SUNDA.
Dalam
pencarian atas NUMINUS (Yang Ilahiah), kosmologi Jawa dapat dilihat dalam 4 lingkaran/strata ( FMS dan C.Geertz
:84)
1.
Bersifat ekstrovert; intinya sikap terhadap dunia luar;
adikodrati, kekeramatan tanpa terkait
refleksi batin dirinya pribadi.
2.
Kekuasaan
politik sebagai ungkapan Numinus. Raja menjadi pusat yang berkadar
Ilahiah.
3.
Pengalaman dan perjalanan pribadi (laku) sebagai jalan
menyatu dengan yang Numinus.
4.
Penyerahan total kepada pengalaman yang Ilahiah,
takdir.
Insya-Allah saya berhasrat benar untuk
membandingkan Kosmologi Jawa ini dengan kosmolgi Sunda, tentu saja dengan
menggunakan data- data kebudayaan/folklorik dan data-data lain.
Menurut hemat saya dari 4
penanda yang di atas , secara signifikan tidak sama dengan Kosmologi Sunda, terutama pada butir no 2.
bagi KI Sunda bilapun ada konsep bahwa kekuasaan politik adalah sesuatu yang
Numinus (Raja adalah hukum, sabda raja adalah sabda Tuhan) hanya dalam kadar
yang relatif sedikit sekali, terutama sampai tahun 1578 (Tenggelamnya kerajaan
Pajajaran, sebagai kahir dari kemandirian Otoritas Kerajaan Sunda), setelah itu
kehidupan sosial Ki sunda diwarnai/dipengaruhi/didominasi oleh sistem budaya
Mataram/Jawa (sistem birokrat kabupatian, sistem berbahasa,dsb).
Pada no 1,3 dan 4 tentu akan didapatkan
dalam kosmologi Sunda tetapi dalam perilaku serta akhir tujuan yang ingin
dicapainya tidak identik dengan Jawa. Misalnya konsep Etika Jawa tentang “Manunggaling kawula Gusti “ dan Sangkan
paraning Dumadi” tidak persis sama. Hal lain sebagai akibat dari Etika Jawa
yang sangat mengutamakan kekuatan eksternal bagi penyangga kekuatan internal
dirinya (dimanfaatkannya “kekuatan” benda keramat, tempat keramat, guru-guru
keramat, laku semedi/bertapa dsb), hal sejenis
tidak begitu kental mewarnai Etika Sunda, Pembenarannya bisa kita simak
dalam pandangan hidup warga Baduy yang nengatakan bahwa “bertapa” itu adalah “tapa di nagara” artinya mengerjakan
tugas di tengah masyarakat, bertapa itu adalah bekerja dengan baik dan benar
(anggeus lain enggeus). ini sejalan benar dengan sebagian dari isi prasati
Kawali VII yabg diamatkan oleh Leluhur Sunda (Abad XIVM), bahwa ........ gawe rahayu pakeun heubeul jaya dina buana (....... bekerja kebaikan= sampai tuntas –
untuk lama berjaya di dunia).
*
A. DUA KAIDAH DASAR MASYARAKAT
JAWA, yaitu
1.
PRINSIP RUKUN , intinya adalah: keadaan selaras, harmonis tanpa perselisihan
dan pertentangan; berprinsip pada pencegahan konfliks. Untuk berlaku rukun
ditumbuhkan seni menyembunyikan perasaan yang disebut ethok-ethok, yaitu kemampuan untuk tidak berterus terang. “ Di lain pihak kebiasaan ber-ethok-ethok
berarti bahwa kita tidaka memberi
informasi tentang suatu keadaan yang sebenarnya, ... “ (Etika Jawa :44)
2.
PRINSIP HORMAT, intinya bahwa setiap orang dalam
cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap
orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Masyarakat itu teratur
secara hirarkis. Setiap orang mengenal tempat dan tugasnya masing-masing sesuai
dengan tatakrama sosial. Yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat;
kepada yang berkedudukan lebih rendah harus bersikap kebapakan/keibuan dan rasa
tanggung jawab.
Untuk ilustrasi ada pendapat Koentjaraningrat (dalam Etika Jawa hl 66),
sikap hormat gaya Jawa dinilainya negatif. “ Ia menafsirkan sebagai salah satu
alasan utama bagi korupsi, kekurangan kesadaran tanggungjawab obyektif dan
efesiensi.. Suatu komunikasi sejati antara atasan dan bawahan tidak dapat
berkembang: atasan memberi :briefing, wejangan, pengarahan; sedangkan bawahan
menulis laporan, tetapi laporan itu biasanya bersifat ‘laporan kecap”, artinya
sudah dirumuskan sesuai dengan harapan
atasan..........mempertahankan situasi yang saling menguntungkan, bawahan butuh
proteksi dan atasan butuh
status, yang disyahkan baik
secara psikologis maupun moral ( penulis:Jawa).
LANGKAH KERJA KITA SELANJUTNYA
Sejak awal saya berpengharapan
pertemuan ini adalah semacam re-introspeksi sejauh mana kesadaran batin kita
(centris primus) dan komitmen kita terhadap tugas pribadi kita sebagai insan
yang ingin menjadi NYUNDA dan ISLAMI
dalam KASUNDAAN yang kental baik sebagai insan PASUNDAN, NUSANTARA muapun
penghuni PLANET GEO ini.
Saya tidak
bermaksud membuat kessimpulan yang baku, tetapi saya lontarkan suatu tanya yang
juga tidak perlu dijawab, yaitu:
APA YANG AKAN KITA KERJAKAN SEKARANG SETELAH KITA SIMAK
ESENSI PERTEMUAN KITA KALI INI ?
Alhamdullillahhirobbil a’lamin
Berkat ijinNya
jugalah kita dapat berbincang kali ini.
Wassalamualaikum wr wb.
Amin
SUKAASIH,
16- 7-1999 . 008.
*
BEBERAPA CATATAN TENTANG ETIKA SUNDA, SETELAH DIANALOGIKAN DENGAN ETIKA JAWA.
1.
KAIDAH I. INTERDEPENDENCY – SALING KETEGANTUNGAN – DITANDAI DENGAN KAIDAH DASAR
BERMASYARAKATNYA YAITU :
·
SILIH ASIH – SILATURAHMI
·
SILIH ASAH – SALING MENCERDASKAN/SALING INGATKAN
·
SILIH ASUH – PROPORSIONAL DAN PROFESIONAL
Tentang interdependency periksa Stephen R. Covey
(.............................)
Bisa dirunut lagi secara makna semiotika/hermanetika untuk lebih
menegaskan ke-interdependency-an al:
-
sistem berladang
-
sistem pesta taun
-
sistem sapaan
-
makna kata Pajajaran
-
makna kata Siliwangi
2.
KAIDAH II. RASA HORMAT DALAM KESETARAAN
·
SISTEM MASYARAKAT BADUY
CATATAN-CATATAN KECIL:
-HEROISME YANG RAMAH,
REFORMIS, GRADUAL, STRATEGIK, DIPLOMASI, KETAHANAN MENTAL.
- BUKAN HEROISME YANG
RADIKAL REVOLUSIONER, KADANG INI MENYIRATKAN KEPANIKAN PSIKIS.
- KONSEP 9 R - CAGEUR, BAGEUR, BENER ,PINTER,
PANGGER, TEGER, WANTER, SINGER, CANGKER sebagai prasayarat indivu
---------------------
No comments:
Post a Comment