Wayang
Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang tumbuh dan
berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya terbentang luas
dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di sebelah barat,
bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat sering
pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.
Yang dimaksud dengan wayang golek purwa dalam tulisan ini adalah pertunjukan boneka (golek)
wayang yang cerita pokoknya bersumber pada cerita Mahabharata dan
Ramayana. Istilah purwa mengacu pada pakem pedalangan gaya Jawa Barat
dan juga Surakarta yang bersumber pada Serat Pustaka Raja Purwa
karya R Ng. Ranggowarsito. Beliau berhasil mengolah cerita-cerita yang
bersumber dari kebudayaan India yang dialkulturasikan dengan kebudayaan
asli Indonesia. Golek Sunda adalah seni pertunjukan tradisi yang
berkembang di tanah Sunda, Jawa Barat. Berbeda dengan wayang kulit yang
dua dimensi, boneka wayang golek adalah salah satu jenis wayang trimatra
atau tiga dimensi.
Menurut
C.M Pleyte, bahwa masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal wayang pada
tahun 1455 Saka atau 1533 Masehi dalam Prasasti Batutulis. Pada abad 16
dalam naskah Ceritera Parahyangan juga disebutkan berulang-ulang
kata-kata Sang Pandawa Ring / Kuningan.
Pendapat
lain yang berkenaan dengan penyebaran wayang di Jawa Barat adalah pada
masa pemerintahan Raden Patah dari Kerajaan Demak, kemudian
disebarluaskan para Wali Sanga. Termasuk Sunan Gunung Jati yang pada
tahun 1568 memegang kendali pemerintahan di Kasultanan Cirebon. Beliau
memanfaatkan pergelaran wayang kulit sebagai media dakwah untuk
penyebaran agama Islam. Baru sekitar tahun 1584 Masehi salah satu Sunan
dari Dewan Wali Sanga yang menciptakan Wayang Golek, tidak lain adalah
Sunan Kudus yang menciptakan Wayang Golek Pertama.
Pada
waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah pemerintahan
Mataram, ketika jaman pemerintahan Sultan Agung (1601-1635), mereka yang
menggemari seni pewayangan lebih meningkat lagi dalam penyebarannya,
ditambah lagi banyaknya kaum bangsawan Sunda yang datang ke Mataram
untuk mempelajari bahasa Jawa dalam konteks kepentingan pemerintahan,
dalam penyebarannya wayang golek dengan adanya kebebasan pemakaian
bahasa masing-masing, seni pewayangan lebih berkembang, dan menjangkau
hampir seluruh Jawa Barat.
Menurut
penjelasan Dr.Th. Pigeaud, bahwa salah seorang bupati Sumedang mendapat
gagasan untuk membuat wayang golek yang bentuknya meniru wayang kulit
seperti dalam cerita Ramayana dan Mahabharata. Perubahan bentuk wayang
kulit menjadi golek secara berangsur-angsur, hal itu terjadi pada
sekitar abad ke 18-19. Penemuan ini diperkuat dengan adanya berita,
bahwa pada abad ke-18 tahun 1794-1829 Dalem Bupati Bandung
(Karanganyar), menugaskan Ki Darman,
seorang juru wayang kulit asal Tegal Jawa Tengah, yang bertempat
tinggal di Cibiru, Jawa Barat, untuk membuat bentuk golek purwa. Pada
abad ke-20 mengalami perubahan-perubahan bentuk wayang golek, semakin
menjadi baik dan sempurna, seperti wayang golek yang kita ketemukan
sekarang ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek
Purwa Sunda..
Dalam perjalanan sejarahnya, pergelaran wayang golek mula-mula
dilaksanakan oleh kaum bangsawan. Terutama peran penguasa terutama para
bupati di Jawa Barat, mempunyai pengaruh besar terhadap berkembangnya
wayang golek tersebut. Pada awalnya pertunjukan wayang golek
diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) dilingkungan
Istana atau Kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun untuk keperluan
umum.
Fungsi pertunjukan wayang tersebut bergantung pada permintaan, terutama
para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran tersebut untuk keperluan
ritual khusus atau dalam rangka tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang
golek yang sifatnya ritual, walupun ada tetapi sudah jarang sekali di
pentaskan. Misalnya upacara sedekah laut dan sedekah bumi, setiap tahun
sekali. Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek
untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan
memperingati hari jadi kabupaten, HUT Kemerdekaan RI, Syukuran dan lain
sebagainya. Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang mengandung
nilai tuntunan dalam pertunjukan wayang golek sudah hilang, tidak
demikian halnya.
Hasil wawancara dari beberapa tokoh wayang, misalnya Bp.Barnas Sumantri (Jakarta), Tjetjep Supriyadi (Karawang), Endin Somawijaya (Sukabumi), Dede Amung
(Bandung), memberitakan bahwa sejak tahun 60-an sampai tahun 70-an,
fungsi nilai tuntunan masih bisa diterima khalayak penonton. Awal tahun
70-an mulai ada pertunjukan dengan menghadirkan bintang pesinden/juru
kawih yang terkenal, bahkan ketenarannya melebihi dalangnya. Akhirnya
pergelaran itu bisa diterima masyarakat, dan banyak seniman lain yang
menirunya, meskipun sebagian dari mereka belum bisa menerima pembaharuan
tersebut. Dari masyarakat, khususnya para seniman wayang (dalang,
niyaga, pesinden), sejak itu mereka mulai mengadakan eksplorasi
pertunjukan yang mengedepankan visualisasi tontonan dan hiburan. Maka
tidak mengherankan bila pada waktu itu, sudah ada pertunjukan wayang
golek yang mendatangkan tari Jaipong yang menari di atas panggung.
Itulah barangkali yang membuat esensi dari wayang tersebut kurang begitu
seimbang antara konsep wadah dan isi.
Bagi seniman wayang yang masih tetap mempertahankan nilai tuntunan,
mereka tetap ingin berupaya mengembangkan daya kreatifitasnya melalui
keseimbangan antara garap tuntunan dan tontonan. Wadah, perangkat kasar,
meliputi penggarapan unsur-unsur pedalangan (penggarapan tokoh, lakon,
alur, sastera pedalangan, sabet, iringan dll). Isi adalah penggarapan
esensi atau rohani serta pesan moral yang akan disampaikan.
Kesimpulannya, keberadaan wayang golek dari dulu hingga sekarang memang
mengalami perubahan serta pengembangan ke arah modernisasi tanpa
mengurangi nilai tradisional, dan esensinya selalu relevan dengan
situasi zaman.(Sumanto, Makalah, Konsep wadah dan isi)
Fungsi
Wayang Golek di tengah-tengah masyarakat mempunyai kedudukan yang
sangat terhormat. Di samping sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga
berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan. Baiak itu tentang
moralitas, etika, adapt istiadat atau religi. Yang tak kalah pentingnya
Wayang Golek itu pun berfungsi sebagai upacara ritual penolak bala,
upacara tersebut Ngaruat.
Sampai
saat ini Wayang Golek masih tetap digemari oleh masyarakat Jawa Barat,
baik tua atau pun muda. Ia masih sering dipergelarkan pada berbagai
pesta keramaian seperti khitanan, perkawinan, perayaan hari-hari besar,
malam penggalangan dana, sebagai kaul/nazar, atau ngaruat untuk memohon
berkah dan keselamatan.
Pada
masyarakat pedesaan, Wayang Golek dapat dijadikan alat untuk mengukur
status social seseorang. Artinya apabila di kampong mereka ada orang
yang menanggap Wayang Golek, apalagi dalangnya ternama, maka dapat
dipastikan bahwa orang tersebut dapat dikatagorikan sebagai orang
berada.
Sebagai
teater, Wayang Golek merupakan seni pertunjukan yang amat komplek sebab
di dalamnya terdapat berbagai cabang seni seperti seni rupa, seni
sastra, suara, musik dan seni tari. Demikian juga dengan cara
penyajiannya, ia tidak cukup hanya dimainkan oleh seorang Dalang tetapi
membutuhkan persoalan pendukung yang kadang-kadang melebihi 20 orang.
Persoalan
pendukung itu memang mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, namun
semuanya tetap harus mendukung Dalang sebagai pusat pertunjukan. Karena
itu, dalam pergelaran Wayang Golek semua personal harus menjadi suatu
kesatuan yang utuh dan padu agar semua dapat berjalan dengan sempurna.
2. Bentuk Wayang Golek
Media
utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat dari kayu
(umumnya jenis kayu yang ringan), ditatah/doukir, dicat, diberi busana
dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan. Boneka kayu yang
menyerupai manusia dengan stilasi disana-sini itu disebut juga Wayang
Golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama jenis pertunjukannya
itu sendiri sama yakni Wayang Golek.
Bentuk/badan
wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-pisah menjadi 3 (tiga)
bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan, dan badan. Ketiga
bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian disambungkan
sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”.
Bagian
leher dan kepala disambungkan oleh bamboo yang telah diraut kurang
lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang tersebut dapat menengok ke
kiri dank e kanan seperti manusia. Bagian bawah dari bamboo itu
diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan akhirnya
berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang pisang sehingga
dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah dipasang kain yang
berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang memegang bambu tadi tidak
tampak dari luar.
Bagian
tangan dibuat terpisah terutama pada sendi bahu dan sedi siku.
Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali sehingga wayang tersebut
dapat bergerak menyerupai manusia. Bagian tangan tokoh-tokoh wayang
tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau gelang. Demikian
juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh dengan manik-manik,
anting telinga, badong (hiasan punggung), keris dan sebagainya. Adapun
bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan, disesuaikan dengan karakter
dan kedudukan tokoh wayang yang bersngkutan.
3. Sumber Cerita
Cerita
pada pertunjukan Wayang Golek Sunda umumnya bersumber kepada kitab
Arjuna Sasrabahu, Ramayana, dan Mahabarata, yaitu kitab-kitab yang
berasal dari kebudayaan Hindu di India. Namun cerita yang paling banyak
digemari masyarakat adalah Mahabarata, bahkan dari lakon induk ini telah
lahir berpuluh-puluh cerita sempalan/carangan yang merupakan hasil
kreatifitas para dalang.
4. Musik
Musik
yang dipergunakan untuk mengiringi pergelaran Wayang Golek adalah
karawitan Sunda yang berlaraskan Pelog/Salendro. Instrumen musik
tersebut ditabuh oleh beberapa orang Nayaga atau Juru Gending, adapun
alat musik tersebut lengkap adalah sebagai berikut :
-
Saron 1 Saron 2 - Peking - Demung - Selentem
-
Bonang - Rincik - Kenong - Gambang
-
Rebab - Kecrek - Kendang - Bedug
-
Gong
Kedudukan
musik dalam pergelaran Wayang Golek demikian pentingnya, ia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari pertunjukan itu sendiri. Mulai dari
tatalu (overture) kawin/lagu, tari dan perang wayang, dialog,
pembangunan suasana, pengisi celah antar adegan, semuanya diiringi
dengan musik. Di samping itu, musik itu pun harus disesuaikan dengan
karakter-karakter wayang yang diiringinya
Misalnya :
-
Satria Ladak, seperti Narayana, Karna, Salya, Somantri, harus diiringi dengan gending gawil
-
Satria Lungguh, seperti Arjuna, Abimanyu, Pandu, Semiaji, diiringi dengan gending banjar Sinom atau Udan Mas
-
Ponggawa, seperti Gatotkaca, Indrajit, Baladewa, biasa diiringi dengan gending bendrong, Waled, dan Macan Ucul.
-
Raja-raja, seperti Kresna diiringi dengan gending Kastawa, Rahwana dengan gending Gonjing atau genggong
5. Sinden/Juru Kawih
Sinden
atau Pasinden, dalam pergelaran Wayang Golek sering pula disebut Juru
Kawin, Juru Sekar, atau Suarawati. Tugasnya adalah melantunkan
lagu/kawin untuk mendukung sajian Dalang. Sebagai pendukung, tentu saja
Pasinden ini tidak dibenarkan melantunkan lagu semena-mena, ia harus
mampu mendukung apa yang sedang dan akan dibawakan oleh Dalang. Misalnya
saat Dalang membawakan adegan sedih maka syair (rumpaka) lagunya pun
harus bermakna sedih, saat Dalang membawakan adegan romantis maka
syairnya pun harus romantis. Demikian juga saat Dalang akan menceritakan
adegan di Astina, maka Pasinden ini terlebih dahulu harus mampu
memberikan gambaran keadaan Negara Astina kepada penonton melalui
syair-syair lagunya.
Bahasa
yang digunakan dalang dan bahasa yang digunakan Pasinden jelas berbeda
fungsi. Bahasa Dalang fungsinya untuk mengungkapkan cerita, sedangkan
bahasa yang digunakan Pasinden untuk memberikan gambaran dan mempertegas
lukisan-likisan peristiwa yang dituturkan Dalang.
Pada
saat jeda atau pengisi celah antar adegan (saat Dalang istirahat),
Pasinden ini biasanya diberi kesempatan untuk membawakan lagu/kawin
lepas yang tidak terikat dengan cerita. Sering pula lagu-lagu itu
dipesan oleh penonton dengan memberi tips yang tidak ditentukan
besar-kecilnya.
Sebuah
pergelaran Wayang Golek umumnya memerlukan antara 2-5 orang Pasinden
ditambah dengan Alok atau Wirasuara (pria). Semuanya tentu saja dituntut
harus memiliki suara yang bagus dengan kepekaan yang tinggi terhadap
musik dan karater Dalang
6. Bahasa dan Sastra Pedalangan
Pada
dasarnya bahasa/percakapan antar tokoh dalam pergelaran Wayang Golek
adalah bahasa daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda dengan
undak-undaknya yang disebut Amardibasa atau tata bahasa. Walaupun
demikian, untuk tokoh-tokoh wayang tertentu seperti Bima dan Togog
umumnya menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa tersebut
dilakukan para Dalang untuk memberikan variasi dan karakter pada wayang
yang berjumlah ratusan.
Demikian
juga dalam penyampaian prolog yang dalam istilah teknisnya disebut
Murwa dan Nyanda, pada umumnya para Dalang menggunakan bahasa Jawa Kuno
yang dituturkan sambil dinyanyikan dalam lagu tertentu. Prolog ini
sebenarnya berisi penuturan yang menggambarkan suasana adegan yang
sedang atau akan digarap sang Dalang.
Selain
Murwa dan Nyandra, dalam sastra pedalangan dikenal juga Suluk dan
Kakawen yang fungsinya untuk menggambarkan suasana dan karater wayang
yang sedang ditampilkan. Perbedaan Suluk lebih menitikberatkan kepad
bahasanya sedangkan Kakawen kepada karawitannya, terutama tentang
melodi. Baik Suluk atau kakawen, keduanya dituturkan/dinyanyikan dengan
menggunakan bahasa Jawa Kuno. Pada perkembangan selanjutnya para Dalang
mulai ada yang menggunakan bahasa Sunda, baik untuk Murwa dan Nyandra,
atau untuk Suluk dan Kakawen
Dalam
menyempaikan lakon/cerita, seorang Dalang tidak dibenarkan menggunakan
bahasa yang vulgar dan tidak beraturan. Untuk itu disusunlah rambu-rambu
khusus yang disebut Panca Curiga atau Panca S. Lengkapnya Panca S itu
adalah Sindir, Silib, Siloka, Simbul dan Sasmita yang mempunyai ari
sebagai berikut:
6.1 Sindir
Adalah
kritik-kritik, kecaman-kecaman atau pujian yang di ungkapkan dalam
suatu cerita, yang disusun sedemikian rupa sehingga harus serta tidak
secara langsung menyinggung hati yang dikritik atau dikecamnya.
6.2 Silib
Silib adalah suatu penerangan atau nasihat yang diselipkan di dalam suatu tema, babak atau adegan tertentu.
6.3 Siloka
Siloka adalah kalimat-kalimat yang harus digali kembali bila ingin mengetahui arti yang sesungguhnya.
6.4 Simbul
Simbul adalah perlambang yang harus dicari atau ditafsirkan sendiri apa makna yang sesungguhnya.
6.5. Sasmita
Yang dimaksud sasmita adalah isyarat atau pertanda
Hakikatnya
Panca Curiga tersebut adalah suatu kesatuan yang utuh dan antara satu
sama lainnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Fungsinya adalah untuk
memberikan “batasan” kepada Dalang dan Seniman pendukung Wayang Golek
agar dalam mengucapkan kata (langsung), karena hal itu dapat menyinggung
orang lain serta menurunkan derajat dan nilai seni pedalangan yang
mereka anggap adiluhung.
7. Susunan Pengadegan
Yang
dimaksud dengan susunan pengadegan disini adalah pola cerita atau
Struktur Dramatik. Alur cerita dalam pergelaran Wayang itu tidak begitu
penting sehingga kemapanan pola cerita tidak akan rusak karenanya.
Seraca
garis besar Susunan Pengadegan itu terbagi menjadi beberapa bagian,
yaitu : Karatonan, Pasebanan, Bebegalan, Karaton lain, Perang Papacal,
Gara-gara, Panditaan, Perang Kembang, Perang Barubuh, dan Karatonan.
7.1. Karatonan
Menceritakan
keadaan di keratin Negara lawan (antagonis) yang biasanya sedang
menghadapi kesulitan besar. Para Pembesar negeri itu tengah
bermusyawarah untuk mencari jalan keluar dari kesulitan, kemudian salah
seorang yang hadir mengajukan satu cara. Sang Raja menyetujuinya,
kemudian menugaskan para Pembesar untuk menyiapkan diri.
7.2. Pasebanan
Para
pembesar Negara sedang mengadakan persiapan dengan bala tentaranya di
Paseban. Mereka mendapat tugas dari rajanya, yang intinya perintah
tersebut akan merugikan pihak lain. Rombongan itu pergi menuju Negara
lawan dipimpin oleh Senapati andalannya. Pimpinan rombongan biasanya
akan mengendarai kuda atau gajah yang akan divisualisasikan Dalang dalam
bentuk tarian Jaranan yang menarik
7.3. Bebegalan
Saat
di sebuah hutan, rombongan ini dihadang oleh kawanan Raksasa yang marah
karena terganggu ketenteramannya. Perang tak dapat dihindari dan
akhirnya Raksasa itu dapat dikalahkan Rombongan melanjutkan
perjalanannya.
7.4. Karaton Lain
Menceritakan
keadaan di keratin Negara lain, yaitu keratin tokoh utama/protagonist.
Keraton inipun biasanya tengah menghadapi masalah. Misalnya kehilangan
pusaka, sakit, mimpi buruk Sang Raja, dan sebagainya. Saat mereka sedang
bermusyawarah, tiba-tiba dating pasukan lawan yang membuat kerusuhan.
7.5. Perang Papacal
Terjadi
peperangan “kecil” antara kedua belah pihak Perang ii bias dimenangkan
oleh si baik atau si jahat, tapi umumnya si Jahat tersebut dapat
melarikan diri dengan membawa apa yang diingininya.
7.6. Gara-Gara
Gara-gara
ini adalah adegan lawak yang dilakukan oleh para Punakawan (Cepot,
Dawala, Gareng) untuk menghibur ksatria asuhannya yang sedang berguru di
sebuah Patapan. Adegan ini biasanya sangat dinanti-nantikan penonton
karena penuh canda dan tawa sehingga dapat menghilangkan rasa kantuk.
Setelah lawakan usai, muncullah ksatria (tokoh utama) tersebut dengan
Pendita yang menjadi gurunya. Sang Guru memberikan wejangan kepada
muridnya. Adegan diakhiri dengan perginya sang tokoh utama diiringi oleh
para Punakawan untuk menunaikan Darma Baktinya.
7.7. Perang Kembang
Di
tengah perjalanan mereka bertemu dengan rombongan lawan sehingga
terjadi pertempuran. Dalam pertempuran ini musuh dapat dikalahkan
sehingga mereka melarikan diri.
8.8 Perang Barubuh
Tokoh
utamanya mengejar musuh sampai kenegaranya untuk menuntut balas dan
menyelematkan apa yang telah dicurinya oleh pihak lawan, maka terjadilah
perang besar (adegan klimaks) dan diakhiri dengan kekalahan pihak
musuh. Raja musuh tersebut dapat ditawan atau ditewaskan.
8.9 Karatonan
Seluruh
adegan biasanya berakhir di sebuah keratin dengan dihadiri oleh seluruh
keluarga tokoh utama. Kesimpulan akhirnya kejahatan akan dikalahkan
oleh kebajikan.
9. Waktu dan Tempat Pertunjukan
Wayang
Golek Sunda dapat dipertunjukkan siang hari ataupun malam. Hal ini
dikarenakan pergelaran tersebut tidak menggunakan kelir seperti halnya
pergelaran Wayang Kulit dari Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Pertunjukan
siang hari biasanya dimulai pukul 09.00 dan berakhir pukul 16.00 WIB,
sedangkan pertunjukan malam hari diselenggarakan mulai pukul 21,30
sampai menjelang azan Subuh.
Tempat
pertunjukan bias dilaksanakan dimana saja, di dalam ruang tertutup atau
di tempat terbuka asal tempat tersebut mampu menampung jumlah pemain
dan penontonnya. Baik di dalam ruangan ataupun di tempat terbuka
pergelaran wayang golek membutuhkan panggung. Panggung tersebut biasanya
lebih tinggi dari pada kedudukan penonton, hal ini dimaksudkan agar
para penonton tersebut dapat melihat dengan jelas jalannya pertunjukan.
Di
atas panggung dipasang dua batang pohon pisang (gedebog) yang
panjangnya kurang-lebih 1,5 meter sebagai area permainan atau untuk
menancapkan wayang. Posisi kedua gedebog itu ditinggikan sekitar 80 cm
dengan memakai penopang dari kayu yang telah dosediakan. Di kanan-kiri
area pertunjukan dipasang pula gedebog dengan posisi yang lebih rendah,
fungsinya adalah untuk menancapkan wayang-wayang yang sedang tidak
terpakai. Wayang-wayang tersebut dipasang berjajar menurut aturan yang
telah baku.
A. MIKAWERUH
ISTILAH PAWAYANGAN
Wayang golèk :
wayang bonèka nu dijieun tina kai (golèk=bonèka)
Alok :
kawih pangeuyeub dina kakawihan atawa carita wayang
Dalang :
jalma purah ngalalakonkeun carita wayang
Gamelan :
saparangkat tatabeuhan nu lengkep dina wayang nu diwengku ku, rebab, gambang,
saron, boning, kendang, goong , jstè
nayaga :
tukang nabeuh gamelan
sinden :
tukang ngawih/ngahaleuang
Gugunungan :
1) parabot dalang nu sok ditancebkeun dina gebog cau, sok dipakè isarah leba
nunda atawa nyampeur carita/lalakon ku dalang
Jantur, ngajantur : mèrèskeun nanceb-nancebkeun wayang dina gebog mèmèh manggung
Kotak wayang :
kotak paranti wadah/pikeun nyimpen wayang
B. MIKAWERUH
CARITA WAYANG JEUNG PAGELARAN WAYANG
1.
BABON CARITA WAYANG
Carita wayang tèh nya èta rupa-rupa lalakon anu biasa atawa bisa
dipidangkeun dina pegelaran wayang, mangrupa gambaran ngeunaan sipat jeung
watek manusa di dunya.
Lalakon-lalakon pikeun pagelaran wayang nyumber kana carita babon atawa
pakem (sumber). Satuluyna ditepikeun sempalanana, galur atawa carangan. Lalakon
dina carita wayang anu dijadikeun sumber ku para dalang Sunda, nya èta: 1)Babad
Loka Pala/ Arjuna Sastra Bahu, 2) Ramayana, 3) Mahabarata, jeung 4) Wayang
Madya
1. Babad Loka Pala/ Arjuna Sasrabahu
Caritana
nyambungkeun lalampahan Rahwana kana carita Ramayana, sok sanajan bèda alur
caturna.
2. Ramayana
Eusina
nyaritakeun Rama jeung Sinta. Tuluy aya paperangan lantaran Sinta diculik ku
Rahwana. Aya lima jilid tina carita Ramayana, nya èta 1) Rama medal, 2)Rama
Gandrung, 3) Rama Tambak, 4) Rama Yuda, jeung 5) Rama Kondur
3. Mahabarata
Carita
Mahabarata disusun dina wangun puisi, anu rèana 24000 pada. Aslina mah disusun
dina basa India kira-kira 500 taun samèmèh masèhi. Silsilah Mahabarata
dimimitian. Dina Mahabarata anu nyekel kaadilan tèh Pandawa, ari anu murka nya
èta Kurawa
4. Carita Wayang Madya
Mangrupa
carita turunan Pandawa jeung Kurawa
Di
handap ieu aya bagan pancakaki Pandawa jeung Kurawa, pèk tengetan!
2. PAGELARAN WAYANG
Pagelaran wayang mangrupa adumanis (kolaborasi) antara sastra nu
mangrupa carita wayang jeung tèater rayat (pagelaran), anu biasana dipirig ku
gamelan salèndro, anu diwangun ku dua
saron, peking, selentem, boning, boning rincik, kenong, kempul jeung goong,
kendang indung jeung tilu kulanter, sarta gambang jeung rebab. Dina ngalalakon
carita wayang, struktur pagelaran diwangun ku sababaraha bagian. Upamana waè:
kakawèn, murwa, nyandra, jeung anta wacana. Geura urang pedar hiji-hiji.
Kakawèn, nya èta kawih dalang dina pagelaran wayang
golèk, anu ngagunakeun basa Kawi (Jawa Kuno), anu sok disebut suluk,
eusina mangrupa papatah, piwuruk, atawa saran ka nu ngadangukeun lalakon.
Murwa,
nya èta kekecapan anu dipakè bubuka ku dalang
wayang sabada kakawèn, sok ngagunakeun basa Kawi (Jawa kuno). Najan kitu,
dalang wayang golèk di Tatar Sunda rèa anu ngagunakeun basa Sunda. Biasana
digalantangkeun tur dipirig ku hawar-hawar sora gamelan. Eusina sok
ngagambarkeun kaayaan adegan carita anu
keur dilalakonkeun
Nyandra,
nya èta prolog anu digalantangkeun ku dalang
sabada murwa. Eusina ngagambarkeun kaayaan karajaan, kaluhungan raja, kautamaan
(watek jeung pakènana) bari dipirig ku gamelan .
Anta-wacana,
nya èta paguneman dina pagelaran wayang.
Unggal tokoh wayang boga warna sewing-sèwangan, nepi ka nu lalajo
mikawanoh saha anu keur nyaritatina
ngadèngè sorana wungkul.
Tutup
lawang sigotaka, nya èta
tanda atawa omongan yèn pagelaran wayang geus rèngsè. Biasana diucapkeun ku
dalang bari nancebkeun gugunungan.
No comments:
Post a Comment