Paradigma
Pembelajaran Harus Berubah
Tidak
ada yang dikerjakan. Segala sesuatu diatas bumi ini tetap dilakukan atau telah
dilakukan. Lukisan paling besar belum terlukis, drama yang paling besar belum
di tulis, puisi paling besar belum disyairkan, Diseluruh dunia tidak ada kereta
api yang sempurna, juga tidak ada pemerintahan yang baik, tidak ada hukum yang
masuk akal. Fisika, matematika, dan terutama ilmu yang paling maju dan paling
eksak sedang direvisi secara fundamental. Kimia baru saja menjadi sebuah sains;
psikologi, ekonomi, dan sosiologi sedang menantikan seorang Darwin yang
karyanya pada gilirannya menantikan seorang einstein. Jika saja anak-anak yang
berhura-hura bisa menceritakan hal ini, mereka mungkin tidak semuanya menjadi
ahli dalam bidang sepak bola, partai-partai, dan meraih peringkat-peringkat.
Akan tetapi, mereka tidak diberi tahu tentang hal ini; mereka diberi tahu untuk
mempelajari apa yang sudah diketahui. Ini sama sekali tidak ada apa-apanya .
ini kutipan
tulisan Lincoln Steffens yang menulis pada tahun 1931 tetapi saya kira sampai
saat ini tetap bisa memberikan inspirasi
dan memang sama benarnya. Persoalannya adalah Pendidik atau kita mau mengajarkan apa yang sudah diketahui
sebelumnya atau mengajarkan kreatifitas;bagaimana menemukan sesuatu; menemukan,
merealisasikan ide-ide baru; bagaimana memecahkan masalah-masalah lingkungan
sekitar, bagaimana memunculkan inovasi;bagaimana menciptakan peluang dan
memanfaatkan peluang.
Ilmu pengetahuan
adalah sistem berpikir tentang dunia empiris. Dengan demikian pendidikan
keilmuan adalah pendidikan berpikir rasional tentang dunia empiris. Dari sisi
taksonomi berpikir, maka pendidikan keilmuan berarti mendidik berpikir pada
tingkat kognitif tertentu. Dengan taksonomi Bloom misalnya, didikan berpikir
keilmuan terletak pada tingkat analisa-sintesa-evaluasi-kreasi, tidak pada
tingkat dibawahnya.
Fakta pembelajaran
saat ini menunjukkan rendahnya tingkat kecakapan berpikir tingkat
analisa-sintesa-evaluasi-kreasi anak didik . Para pakar pendidikan mengatakan
bahwa proses pembelajaran yang dominan di sekolah-sekolah masih membelajarkan
tingkat rendah yakni mengetahui, memahami, dan menggunakan belum mampu
menumbuhkan kebiasaan berpikir evaluasi-kreatif yakni suatu yang paling esensi
dari dimensi belajar. Sebagian besar pendidik belum merancang pembelajaran yang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Sebenarnya para
pendidik telah menyadari bahwa pembelajaran berpikir agar anak menjadi cerdas,
kritis, dan kreatif serta maampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan
kehidupan mereka sehari-hari adalah penting. Kesadaran ini juga telah mendasari
pengembangan kurikulum kita lebih lebih mengedepankan pembelajaran yang
konstekstual dengan lingkungan kehidupan sehari-hari anak. Akan tetapi sebagian
besar pendidik kita belum berbuat, belum merancang secara serius pembelajaran
yang didasarkan pada premis proses belajar (Drost, 1998, Mangunwijaya, 1998,
Kamdi, 2002). Kita masih berkutat dengan cara-cara mengajar yang lama, yang
cenderung mematikan kreativitas anak.
Proses
“pembelajaran” saat ini masih diimplementasikan sebagai proses menjadikan anak
tidak bisa, menjadi bisa. Kegiatan belajar berupa kegiatan menambah
pengetahuan, kegiatan menghadiri, mendengar dan mencatat penjelasan guru, serta
menjawab secara tertulis soal-soal yang diberikan saat berlangsungnya ujian.
Pembelajaran adalah proses menyampaikan, memberikan, memindahkan/mentransfer
ilmu pengetahuan dari guru kepada siswa.
Dalam tataran ini
siswa yang sedang belajar bersifat pasif , menerima apa saja yang diberikan
guru, tanpa diberikan kesempatan untuk membangun sendiri pengetahuan yang
dibutuhkan dan diminatinya. Siswa sebagai manusia ciptaan Tuhan yang paling
sempurna di dunia karena diberi otak, dibelenggu oleh guru. Siswa yang
jelas-jelas dikaruniai otak seharusnya diberdayagunakan, difasilitasi,
dimotivasi, dan diberi kesempatan, untuk berpikir, bernalar, berkolaborasi,
untuk mengkonstruksi pengetahuan sesuai dengan minat dan kebutuhannya serta
diberi kebebasan untuk belajar.
Sudah seharusnya
meruntuhkan pemahaman yang keliru bahkan telah menjadi “mitos” bahwa belajar
adalah proses menerima, mengingat, mereproduksi kembali pengetahuan yang selama
ini diyakini banyak tenaga kependidikan. Jalaluddin Rakhmat (2005) dalam buku
Belajar Cerdas, menyatakan bahwa belajar itu harus berbasis otak .
Dengan kata lain
revolusi belajar dimulai dari otak. Otak adalah organ paling vital manusia yang
selama ini kurang dipedulikan oleh dosen dalam pembelajaran. Pakar komunikasi
mengungkapkan kalau kita ingin cerdas maka kita harus terlebih dahulu
menumbangkan mitos-mitos tentang kecerdasan (Ekamawati,W, Jawa Pos, 11
September 2005).
Menurut pandangan Slavin (1997)) dalam
proses pembelajaran pendidik tidak dapat hanya semata-mata memberikan
pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuannnya sendiri dalam
dengan mendayagunakan otaknya untuk berpikir. Guru dapat membantu proses ini,
dengan cara-cara membelajarkan, mendesain informasi menjadi lebih bermakna dan
lebih relevan bagi kebutuhan siswa. Caranya antara lain dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide, dan dengan
mengajak mereka agar menyadari dan secara sadar menggunakan strategi-strategi
mereka sendiri untuk belajar. Menurut Nur (1999), pendidik sebaiknya hanya
memberi “tangga” yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga
tersebut.
Upaya yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir siswa (Brooks, 1990, Slavin,
1997), antara lain,
(1) siswa perlu didorong secara
individual menemukan dan mengubah informasi yang kompleks menjadi lebih
sederhana, bermakna, agar menjadi miliknya sendiri
(2) siswa perlu selalu membandingkan
informasi yang satu dengan informasi yang lain, jika tidak cocok, ia harus
berupaya untuk mengubahnya agar sesuai dengan skematanya.
Dengan demikian
maka belajar harus bersifat konstruktif, artinya dapat digambarkan sebagai
proses berpikir pada saat terjadinya penemuan ilmiah, pemecahan masalah,
menciptakan sesuatu. Kegiatan tersebut bisa dalam bentuk eksplorasi,
eksperimentasi, kreativitas, ketekunan, kesabaran, rasa ingin tahu, dan kerja
sama atau kolaboratif.
Perubahan
paradigma pembelajaran di atas mempunyai implikasi yang sangat besar, karena
akan menumbuhkan kebiasaan mental untuk dapat berpikir secara produktif.
Indikasi-indikasi berpikir produktif ( Marzano dalam Kamdi, 2002) demikian
antara lain,
(1) self-regulated thinking and
learning, yakni kompetensi mengetahui apa yang sedang dipikirkannya,
tindakan yang terencana, mengetahui sumber-sumber yang penting, sensitive
terhadap umpan balik, dan evaluatif terhadap keefektifan tindakan; (2) critical
thinking and learning, yang dicirikan oleh tindakan yang ceermat, jelas,
terbuka, bisa mengendalikan diri, sensitive terhadap tingkat pengetahuan,; dan
(3) creative thinking and
learning yang ditandai dengan semangat tinggi, berusaha sebatas
kemampuan, percaya diri, teguh, dan menciptakan hal-hal atau cara baru.
Upaya yang dapat
dilakukan untuk mewujudkan ketiga indikator di atas adalah dengan
mengintegrasikan ke dalam tugas-tugas di kelas dan menggunakan contoh-contoh
khusus dari kehidupan orang yang memiliki kompetensi unggul.
No comments:
Post a Comment